Rabu, 18 Maret 2009

DENGAR PENDAPAT DI KOMISI II DPR RI

DENGAR PENDAPAT DI DPR RI TENTANG

RENCANA UNDANG-UNDANG PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

( DARI PENDEKATAN SEJARAH )

OLEH : AHMAD ADABY DARBAN

Assalaamu’alaikum.w.w.

Yang kami hormati Pimpinan Sidang Komisi II DPR RI,

Yang kami hormati seluruh anggota Komisi II DPR RI dan aparatnya,

Yang kami hormati sahabat-sejawat Sejarawan,

Yang kami hormati para Wartawan dan para tamu undangan.

Salam sejahtera, semoga Rahmat dan Barokah serta Hidayah Allaah melimpah kepada kita semuanya, amin.

MUQADIMAH

Kami haturkan terima kasih atas undangan dari Komisi II DPR RI (pertama untuk tanggal 23 Oktober 2008, kemudian diundur tanggal 27 November 2008, saat ini)

dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Kami hadir memenuhi undangan itu, dan kami berusaha untuk mengumpulkan sumber sejarah dan informasi sejarah lainnya, dalam rangka memberikan masukan sekemampuan kami untuk Rencana Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sedang dibahas oleh DPR RI. Dengan harapan semoga dengar pendapat ini merupakan silaturahim dan akan menghasilkan manfaat, serta melancarkan terbentuknya Undang-undang untuk Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pimpinan dan Anggota Dewan yang kami hormati,

Melalui Rapat Dengar Pendapat Umum ini, dengan menggunakan pendekatan Sejarah, kami sampaikan sebagai berikut.

YOGYAKARTA DALAM MASA PENJAJAHAN

Bila ditinjau dari proses sejarahnya, Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ( yang kemudian disingkat Kesultanan Yogyakarta ) dan Kadipaten Paku Alaman. Kesultanan Yogyakarta yang berdiri setelah tanggal 13 Februari 1755 (Perjanjian Giyanti), dan Kadipaten Paku Alam yang berdiri setelah tanggal 29 Juni 1812 (Penobatan P.Natakusuma sebagai Pangeran Merdika dengan gelar KGPA Paku Alam I ).

Keberadaan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman selama pemerintahan Kolonial Belanda, tidak diatur dengan undang-undang yang dibuat sepihak oleh penjajah, namun diatur tersendiri dengan suatu perjanjian ( dibicarakan bersama ) yang setara antara Gubernur Jendral ( mewakili Pemerintah Kerajaan Belanda ) dan Sultan. Kesepakatan itu dibuat dalam bentuk politiek contract (yang disyahkan oleh parlemen Belanda). Kontrak Politik itulah yang kemudian dijadikan dasar perundang-undangan bagi daerah-daerah yang memiliki status Swapraja ( daerah yang berhak mengatur pemerintahannya sendiri ). Dengan demikian, Wilayah Kesultanan & Paku Alaman diperlakukan istimewa, karena boleh dan berhak mengatur pemerintahannya sendiri ).

Ketika Jepang berhasil mengalahkan Hindia Belanda, pihak pemerintah Hindia Belanda menawarkan kepada Sultan Hamengku Buwana IX Raja Yogyakarta, untuk diajak bersama-sama mengungsi ke Australia, dalam rangka mendirikan pemerintahan di luar Indonesia ( pelarian/pengasingan ). Namun, Sri Sultan Hamengku Buwana IX dengan tegas menolak, dengan mengatakan bahwa “Kami akan mempertahankan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, dan akan menyelamatkan rakyat kami “. Pemerintahan Hindia Belanda telah berakhir di Indonesia, dan lari ke Australia ( kemudian mendirikan NICA ). Dengan demikian Wilayah Kerajaan Yogyakarta dan Paku Alam tetap memiliki kekuasaan yang berdaulat.

Pada zaman pendudukan Jepang, Sultan Hamengku Buwana IX dikukuhkan sebagai Koo Kooti ( Penguasa Daerah Istimewa ), di Istana Rijkswik ( istana Negara ) Batavia, pada tanggal 1 Agustus 1942. ( surat kabar Kan Po , No.1. Tahun ke 1, boelan 8-2602, hlm.21 ). Piagam pengakuan kedudukan Sultan itu ditanda-tangani oleh Gun Sereikan Hitosi Imamura. Pasal-pasalnya dalam piagam itu antara lain : Pasal 1 dan 2 berisi pengukuhan Hamengku Buwana IX sebagai KOO ( Sultan ), dan diberi hak memerintah menurut pemerintahannya. Pada pasal 3, dinyatakan bahwa wilayah Kooti sama dengan wilayah Kesutanan yang telah ada. Pasal 5 – 6 menegaskan hak istimewa yang telah ada di Kooti Yogyakarta dan bentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang telah ada di bawah Kesultanan ( Kooti ) tetap dipertahankan, serta dilestarikan. Kewajiban Koo ( Sultan ) wajib memerintah dan memajukan kemakmuran penduduk Kooti. (lihat Kan Po, no.1, tahun ke 1, boelan 8 – 2602, hlm.22. P.J. Soewarno,Hamengkubuwana IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942 – 1974, suatu tinjauan Historis, Ygyakarta: Kanisius,1994, hlm.99 – 100 ). Pada zaman pendudukan Jepang kedudukan Yogyakarta juga semacam daerah istiwewa, dan diberikan otonomi untuk mengurus lembaga serta pemerintahannya sendiri.

Dalam rangka membersihkan pengaruh pemerintah penjajahan yang ada di lingkungan birokrasi, maka Sultan Hamengku Buwana IX berusaha memperkecil peranan dan kekuasaan Patih Dalem ( Danureja ), sehingga pemerintah penjajah akan sulit untuk memperalat mereka. Pada tanggal 8 April 1945 Sultan Hamengku Buwana IX menghapus lembaga kedudukan Patih dan pemerintahan sehari-hari dipegang langsung oleh Sultan Hamengku Buwana IX. Dikeluarkanlah Koorei yang isinya antara lain, dibuatlah lembaga jawatan yang membantu pelaksanaan pemerintah harian. Jawatan-jawatan itu disebut Paniradya (Kyoku) , ada 6 Paniradya (Kyoku), Kapanitran (Sekretariat); Ayahan Umum ( Urusan Umum ); Ekonomi; Wiyatapraja ( pendidikan); Yayasan Umum (Pekarjaan Umum); dan Rancana-Pancawarna ( Urusan Humas / Penerangan ). Untuk urusan pemerintahan harian , Sultan Hamangku Buwana IX lengsung memimpin kepala-kepala Paniradya, dengan demikian sering berkantor di Kepatihan. Dalam hal ini pemerintah pendudukan Jepang tetap menghormati kedaulatan Sultan Hamengku Buwana IX dan Kerajaan Yogyakarta. Salah satu bukti sejarah, ketika pemerintah pendudukan Jepang meminta agar rakyat Yogyakarta dilibatkan dalam kerja rodi “Romusha”, maka Sultan meminta rakyat dipekerjakan di wilayah Yogyakarta ( tidak boleh dibawa ke luar dari Yogyakarta). Atas persetujuan bersama, dibuatlah proyek “Selokan Mataram” yang menghubungkan Sungai Progo dengan Sungai Opak, melintas wilayah Yogyakarta. Strategi Sultan dengan proyek ini adalah : Pertama, Rakyat Yogyakarta yang dipekerjakan mudah dikontrol kesejahteraannya, dan pihak kraton juga dapat membantu memberikan logistic bagi warganya. Kedua, di masa yang akan datang, selokan itu akan bermanfaat juga untuk mengairi tanah lahan pertanian masayarakat Yogyakarta sendiri. Dengan demikian dapat lebih meringankan beban kehidupan masyarakat Yogyakarta di zama Jepang, dan Selokan Mataram itu sampai sekarang tetap berfungsi mengairi pertanian masyarakat.

YOGYAKARTA MENJELANG KEMERDEKAAN DAN MASA KEMERDEKAAN

Ketika BPUPKI dibentuk, Kraton Yogyakarta juga diundang untuk mengirimkan wakilnya, maka diutuslah Pangeran Purubaya dan Pangeran Bintara, yang nantinya bersama-sama anggota lainnya mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia, dan penyusunan Undang-undang Dasar calon Negara Republik Indonesia. Dari keikutsertaaannya dalam sidang-sidang BPUPKI itulah sebenarnya di lingkungan Kraton Yogyakarta bersama tokoh-tokoh bangsa Indonesia lainnya telah memiliki cita-cita untuk bebas merdeka dari segala bentuk penjajahan.

Oleh karena itu, maka ketika penjajah Jepang kalah dan kemudian Soekarno – Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 Sultan Hamengku Buwana IX dan Adipati Pakualam VIII mengirim telegram mengucapkan selamat atas Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia “.

Pada tanggal 20 Agustus 1945, Hamengku Buwana IX dan Adipati Paku Alam VIII mengirim telegram ke 2, yang isinya : Mengucapkan selamat atas terpilihnya Soekarno – Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, serta menyatakan resmi berdiri dibelakang kepemimpinan Soekarno dan Hatta.

Sebagai penghargaan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sultan HB IX dan PA VIII, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Piagam Kedudukan yang isinya antara lain,

a. Penetapan Hamengku Buwana IX sebagai Kepala Daerah Kerajaan Yogyakarta yang merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia.

b. Bertugas menjaga keselamatan daerah Yogyakarta, sebagai bagian dari daerah Republik Indonesia. ( Piagam Kedudukan ini tertanggal 19 Agustus 1945, namun baru berhasil sampai pada Sultan HB IX dan PA VIII pada tanggal 6 September 1945 ).

Pada Tanggal 5 September 1945, lahirlah Amanat Sultan Hamengku Buwana IX dan Adipati Paku Alam VIII, yang isi pokoknya ialah :

1. Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. Sebagai Kepala Daerah di Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, kami bertanggung jawab atas, a. Urusan daerah Ngayogyakarta Hadiningrat, dan b. Kekuasaan lain seluruhnya dipegang oleh Hamengku Buwana IX.

3. Hubungan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Republik Indonesia bersifat: a. Langsung; dan b. Hamengku Buwana IX bertanggung jawab langsung pada pada Presiden Republik Indonesia.

Pada tanggal 30 Oktober 1945, dismpaikan kembali Amanat Kerajaan Ngaygyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alam untuk :

1. Kesediaan menta’ati Undang-undang Dasar Republik Indonesia

2. Membentuk Badan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), sebagai Dewan Perwakilan Rakyat ( sementara )

3. Hamengku Buwana IX sebagai Kepala Daerah dan Paku Aam VIII sebagai Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Peristiwa-peristiwa yang wujudnya “pernyataan bersejarah “ di atas itu merupakan rangkaian menuju Daerah Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian diperkuat dengan adanya Pasal 18 B ayat (1) Undang-undang Dasar RI 1945, yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat Istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

Oleh karena amanat konstitusi UUD1945, maka proses Daerah Yogyakarta yang sudah final menjadi Daerah Istimewa itu, maka perlu segera dibuatkan Undang-Undang Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, sesuai dengan perjalanan Sejarah pembentukannya.

PENDUKUNG

Proses sejarah di atas, merupakan pokok penentu secara final Daerah Yogyakarta wajar sebagai Daerah Istimewa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain dari proses sejarah di atas,berikut ini kami sampaikan beberapa pendukung yang menguatkannya, antara lain:

1. Ketika NICA ( Belanda ) ingin kembali menjajah Indonesia, dan berhasil menduduki Jakarta, maka Sultan hamengku Buwana IX menawarkan Yogyakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Setelah tawaran itu diterima, mulai tahun 1946 sampai dengan 1949 secara resmi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia. Sultan Hamengku Buwana IX mensuport perlengkapan negara ( untuk perkantoran ) dan juga dana yang cukup besar. Di samping itu juga, Yogyakarta dijadikan pusat pengendalian perjuangan perlawanan terhadap NICA Belanda. Dengan demikian para pejuang dari beberapa daerah berkumpul dan menyusun strategi perjuangannya dari Yogyakarta.

2. Pada waktu NICA menyerang Yogyakarta, dan akan mengajak Sultan Hamengku Buwana IX berpihak kepadanya, dengan tegas ditolak, dan bahkan Kraton Yogyakarta ditutup tidak mau menerima tamu NICA. Kraton Yogyakarta pada waktu Revolusi mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dijadikan persembunyian para Gerilyawan RI. Ketika pihak NICA mohon masuk untuk mencari para gerilyawan, di jawab Sultan dengan “Langkahi Mayatku Sebelum masuk Kraton Yogyakarta”. Belanda tidak berani memaksakan kehendaknya, dan gagal masuk kraton.

3. Ketika Belanda menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, dan NICA telah menguasai bekas Hindia Belanda, maka Sultan Hamengku Buwana IX bersama Panglima Sudirman merencanakan adanya “Serangan Oemoem 1 Maret 1949”. Setelah terjadinya Serangan Oemoem 1 Maret itu, membuka mata dunia, sehingga PBB menginstruksikan gencatan senjata dan perundingan. Diadakanlah Perundingan Roem – Royen pada bulan April 1949, yang hasilnya cukup cemerlang, antara lain a. Belanda mengakui adanya Republik Indonesia dengan Ibukota Yogyakarta; b. Belanda keluar-mundur dari Yogyakarta; c.Soekarno-Hatta dan para menteri yang ditahan Belanda dibebaskan; dan d. Menyepakati adanya Konferensi Meja Bundar (KMB).

4. Pada tanggal 30 Juni 1949 ( sehari setelah tentara Belanda mundur keluar dari Yogyakarta ), Sri Sultan Hamengku Buwana IX yang menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, atas nama Presiden Republik Indonesia memprokamirkan bahwa Pemerintahan di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta kembali di tangan Pemerintah Republik Indonesia, yang berkedudukan lagi di ibukota Yogyakarta. Atas penetapan Paduka Yang Mulia Presiden, panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, maka buat semetara waktu, kekuasaan pemerintahan Republik, baik sipil maupun militer di Daerah Istimewa Yogyakarta, dipegang dijalankan oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan, yang dibantu segala Badan dan alat kekuasaan serta pegawai negeri yang ada dan yang akan datang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pernyataan ini merupkan rasa konsisten bagi Sultan dan rakyat Yogyakarta dalam mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Perjalanan Per-Undang-undangan yang menyangkut tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sejak :

a. Undang-undang Dasar 1945, pasal 18

b. Undang-undang No. 22 tahun 148, tentang Pemerintah Daerah, pasal 6 dan pasal 18 ayat 5.

c. Undang-undang No.3 tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta,

d. Undang-undang No.1 tahun 1957, tenang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah, pasal 25 ayat 1.

e. Undang-undang No. 18 tahun 1965, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, pasal 88.

f. Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Penyeragaman Pemerintah Daerah, pengecualian untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.

g. Undang-undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah,pasal 122.

h. Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, pasal 226 ayat (1)

Sejarah perundang-undangan yang menyangkut Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat dinamika yang menarik ( lihat lampiran Sumber Sejarah perundang-undangan DIY), namun baru sebatas permukaan, belum meyentuh aspek budaya, religiositas, dan struktur rumah tangga khas yang menjadi dasar hakekat keistimewaannya. Dengan demikian diperlukan segera ada UU tentang Pemerintahan DIY.

KHOTIMAH

Sebagai penutup dengar pendapat ini, kami menyampaikan pokok pendapat kami, yaitu:

1. Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menjadi keputusan final ( baik dilihat dari perspektif Historis, Kultural, Sosiologis, Yuridis, maupun Filosofis ), yang tidak perlu dipersoalkan lagi.

2. Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa perlu segera diatur dalam Undang-undang, dengan memperhatikan aspek-aspek Sejarah, Budaya, Religiositas, dan struktur rumah tangga khas yang menjadi hakekat dasar keistimewaannya. Daerah Istimewa Yogyakarta setingkat Provinsi (bukan Profinsi), yang dipimpin oleh Kepala Daerah (bukan Gubernur).

3. Kepemimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta melekat dengan wujud atas pengakuan hak asal usul yang bersifat Istimewa serta peranannya dalam sejarah perjuangan Indonesia( lihat proses Historis ), dilakukan dengan melalui Pengukuhan oleh Presiden terhdap Sultan Hamengku Buwana yang masih/ sedang bertahta sebagai Kepala Daerah dan Paku Alam yang masih/ sedang bertahta sebagai Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta .

Denikianlah paparan kami, dalam forum dengar pendapat RUU tentang Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat republik Indonesia. Tiada gading yang tak retak, pabila ada kekurangan dan kesalahan, mohon dapat dimaafkan. Harapan akhir kami, agar UU tentang Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat segera terwujud, dengan memperhatikan suara hati nurani masyarakat. Terima kasih.

Wassalaamu’alaikum.w.w. Ahmad Adaby Darban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar