Sabtu, 26 September 2009

SYAWALAN (Pokok-pokok Pengajian Syawalan)

POKOK-POKOK PENGAJIAN
SYAWALAN
OLEH: A. ADABY DARBAN









“ Dan bersegeralah kamu mohon ampunan dari Tuhanmu, dan menuju sorga yang hamparannya seluas ( gabungan ) langit dan bumi, (sorga itu) disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.
(Adapun Orang yang bertaqwa itu), ialah orang-orang yang suka menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang dapat menahan amarahnya, serta orang-orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain, dan Allah itu sangat menyenangi pada orang-orang yang berbuat kebaikan (seperti itu)”.(Q. S. Ali Imron: 133-134).

Inti Ayat :
1. Bersegera memohon ampunan dari Allaah SWT.
2. Berusaha sedini mungkin untuk berinfestasiè mendapatkan Sorga Allaah
3. Sorga Allaah SWT. itu hanya diperuntukka bagi MUTTAQIIN
4. Cara untuk menjadi Muttaqiin è yang bakal dapat Sorga Allaah itu :
a. Suka menafkahkan hartanya (baik saat berlebihan, maupun pas-pasan)
b. Dapat menahan/mengendalikan AMARAH
c. Suka/bersedia MEMAAFKAN kesalahan orang lain terhadap dirinya
5. Allaah senang pada orang-orang Muttaqiinèdengan perbuatannya itu.

Proses Latihan :
Pada bulan Sya’ban (Ruwah) è membersihkan diri untuk persiapan ibadah Siyam/Puasa Wajib Ramadhan, dengan berbagai aktivitas antara lain :
a. Memparbanyak puasa sunnah ( al : Senin-Kamis, Tengah Bulan, atau pun
juga puasa sunah Daud ) sebagai warming-up !
b.Berusaha membersihkan diri lahir bathinnya, sering dilambangkan dengan
“ Menyadari (sadarè Nyadran) membuat KETAN –KOLAK-APEM
( Khotho’an = kesalahan/kelemahan, Qola = ucapkanlah, Afwan=
Mohon ma’af /ampunan ).
c.Berziarah kuburè mendo’akan terutama kepada kedua orang tuanya
(sebagai kewajiban bagi anak yg.Sholeh/sholihah).

Siyam Ramadhan (inti ibadahnya)
a. Menjalankan Rukun/wajibnya Puasa
b. Berupaya mendapatkan : Rahmat – Barokah – Maghfiroh è Allaah SWT.
dengan laku : Mengekang segala hawa nafsu
Sabar menghadapi segala godaan
Membersihkan diri dengan mohon ampunan Allaah SWT.
Memperbanyak Zakat – Infak – Shodaqoh
Menggiatkan ibadah Mahdhah dan ibadah Sosial (‘amm)
Mengkaji (mendalami) pedoman hidup Islami AL QUR’AN
Taqorrub dan Tawakal è kepada Allah SWT.
Semuanya itu sedapat mungkin dilakukan dengan Ikhlas-Mardlotillaah !.
c. Janji Rasulullaah :
“ Man shooma romadloona iimanan wakhtisaban ghufirolahu mataqod
damad min dzambih wa la ta’akhara “(hadts)
Artinya : Siapa yang beribadah Siyam/puasa Ramadlan dengan penuh ke-
Imanan dan hanya mengharap (ibadahnya diterima oleh Allaah)
maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Syawwal ( bulan peningkatan )
Mengenal lambang KUPAT è Laku Papat ( amalan yang empat ) dilakukan pada bulan Syawwal mengandung aspek Ibadah mahdhah(ritual) dan ibadah berupa amal sosial ( aamm ), yaitu :
a. Mulai maghrib masuk bulan Syawwal è dilakukan Takbiran
yang intinya : Takbir ( Mengagungkan asma Allaah ); Tahlil ( Mengokoh-
keyakinan akan Ke-Esa-an Allaah ); dan Tahmid ( Memuja & Memuji ha-
nya kepada Allaah ). Dilakukan sejak sehabis adzan Maghrib sampai de –
nya Sholat Iedul Fithrie.
b. Wajib membagikan ZAKAT FITRAH è diperuntukkan hanya kepada
saudara kita yang Fakir dan Miskin. Berupa makanan pokok, paling sedi-
kit setiap orang mengeluarkan 2,5 Kg. Maksudnya kata Nabi “ Agar di
hari Raya Iedul Fithrie tidak ada anggoauta masyarakat yang kelaparan”
Niatnya ibadah pada Allaah SWT., berasnya bukan untuk Allaah SWT.
Zakat Fitrah ini dilakukan Afdlolnya pada akhir puasa kita dan tidak bo-
leh melewati waktu sholat Iedul Fithrie. Fungsi Zakat Fitrah, di samping
funsi sosial, juga sebagai pembersih & penyempurna Puasa kita.
c. Laku Ibadah SHOLAT IED ( Sunnahnya di tanah lapang/ Syi’ar ).
Bersujud di tanah lapang dan mendengarkan Khotbah sampai selasai.
d. Melakukan Silaturahim ( Alal bil halal atau juga Syawwalan ), dengan
fungsi memupuk UKHUWAH tali persaudaraan, saling ma’af mema –
afkan, sehingga merekatkan kembali/ menambah rekatnya ikatan persa-
daraan kita sesama umat manusia. Dengan lambang BRESALAMAN :
Sabda Rasulullaah Muhammad SAW :
“ Tashoo-fakhuu yadzhabil ghillu ‘an quluu bikum “ (Al Hadits)
Artinya : “ Berjabat tanganlah kamu, niscaya akan hilanglah rasa
kegundahan dalam hatimu “ ( H.R. Baihaqi dari Ibn. Abbas ).

HIKMAH SYAWWALAN :

1. Meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Allaah SWT. ( Taqorrub )
Taqwa adalah derajat tertinggi dihadapan Allaah SWT.
Iman Islam adalah syarat bagi keselamatan hidup & mati
“ Yaa Ayyuhalladzi-na amanut taqullaaha haq qotuqotihi
wa laa tamu tunna illa wa antum Muslimuun “ (Q.S.Ali Imron:102)
Artinya :
Wahai orang-orang yang berIman, bertaqwalah kamu dengan sebenar-
benarnya taqwa, dan janganlah engkau wafat kecuali dalam keadaan
Islami “.
2. Peningkatan Etos Kerja è dalam Islam bekerja itu ternasuk ibadah
kepada Allaah SWT. (‘aamm)
Al Qur’an : S. Jum’ah ayat 10 dan S. Al Insyira’ : 7è faidza faroqta.
3. Peningkatan Etos Keilmuan
Al Qur’an : S. Al Mujadillah 11 dan Hadits Nabi.
4. Peningkatan mutu kepribadian
Pewujudan Khiro Ummah è ummat yang baik
Foundasi : Taukhid – Iman – Taqwa
Soko Guru pilar-pilarnyaa : Ibadah Mahdhah
Akhlaqul Karimah
Ukhuwah Imaniyah
Al Ilmiyah
Aghniya’
Amaliayah duniawiyah
5. Meningkatkan Kedamaian
“ Wa Shulkhu Khoir “ è “ Perdamaian itulah yang terbaik “
( Q.S. An Nisa’ : )
“ Mawadah wa Rahmah “è Bersikap Cinta-Kasih
“ Bermuka cerah dan ramah itu adalah shodaqohmu “ ( Al Hadits ).


Masih banyak lagi, Allaahu alam bisshowab

PETA PEMIKIRAN HASAN AL BANA

MERETAS JALAN KEBANGKITAN ISLAM;
PETA PEMIKIRAN HASAN AL-BANA


Judul Asli : Haula Asasiyat Al-Masyru’ Al-Islam Linahdhah Al-Ummah
( Qiraah fi Fikr Al Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna )
Penulis : Prof. Dr. Abdul Hamid Al-Ghazali
Penerbit : Asli èMarkaz Islami li Ad-Dirasah wa Al-Buhuts
TerjemahanèSolo: Era Intermedia,Juli 2001 .
Penerjemah: Wahid Ahmadi dan Jasiman Lc.
Pembahas : Ahmad Adaby Darban
***********************************************************Telah banyak kiranya penerbitan terjemahan buku-buku tentang Imam Hasan Al Banna antara lain Majmu’ah Ar-Rasail Al-Imam Syahid Hasan Al-Banna, dan Mudzakkirat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, dan sebagainya.
Khusus untuk buku ini, secara garis besar merupakan upaya penulis yaitu Prof.Dr. Abdul Hamid Al-Ghazali, untuk mengadakan pemetaan ulang atas pemikiran yang telah canangkan oleh Imam Hasan Al Banna. Kemungkinan karya ini muncul dari pengembaraan referensi dan pengalaman penulis dalam mengamati/meneliti tentang dinamika pergerakan penerus Imam Hasan Al Banna.

Berbagai gagasan yang cemerlang tentang kebangkitan Islam Islam yang dicanangkan oleh Imam Hasan Al Banna ini, perlu ditindak lanjuti dengan suatu skenario yang komprehensif dan integral, yang kemudian dapat dijadikan peta bagi ummat dalam pergerakannya di masa kini dan masa yang akan datang. Imam Hasan Al-Banna, yang hidupnya hanya sampai usia 41 tahun, sebenarnya tidaklah hanya penggagas, namun juga mempraktekkan gagasannya, dengan memimpin gerakan kebangkitan Islam melalui gerakan Islam Ikhwanul Muslimiin.

Proses yang dilakukan oleh Imam Hasan Al Banna dalam mengupayakan kebangkitan Islam, melalui : Partama, mengadakan identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh ummat Islam. Kedua, hasil identifikasi itu, kemudian dirumuskan peta pemikiran, dengan sekaligus perencanaan gerakan ( yang menyangkut strategi & taktik perjuangannya ). Ketiga, secara pribadi menyiapkan diri untuk memimpin gerakan kebangkitan Islam. Keempat, terjun langsung memimpin gerakan kebangkitan Islam dengan pendekatan “menghidupkan kembali ruhul Islam yang telah mengalir di tubuh ummat “, Ruhul Islam itu akan dapat terus dihayati oleh ummat apabila Al Qur’an tidak sekedar dibaca, akan tetapi difahami maknanya, dan diterjemahkan dalam realitas kehidupannmanusia. Oleh karena itu, dengan begitu cepat ummat banyak yang rela bersama-sama berjuang untuk kebangkitan Islam. Hal ini juga didukung oleh situasi pada zamannya, yaitu belenggu sekularisme dan nasionalisme sempit terhadap perkembangan Islam dan ummatnya, sehingga ummat Islam berupaya bangkit untuk memutus belenggu itu.

Sebagai awal yang dilakukan Imam Hasan Al Banna adalah mengkaji ulang rujukan utama ummat Islam yaitu Al Qur’an & As-Sunnah (menemukan kembali ruhul Islam dari keduanya ), kemudian pengkajian dinamika Sejarah Umat Islam dengan studi banding dengan sejarah umat-umat lain ( sebagai pengetahuan empirik ). Setelah itu semua menyusun kembali semua aspek yang diperlukan untuk kebangkitan umat Islam kembali.

Dari itu semua tersusunlah sebuah “proposal” untuk kebangkitan yang efektif dalam membangun ummat. Proposal itu berisi antara lain :
1. Cita-cita sejarah, suatu dinamika pergerakan Islam yang berjalan berlandaskan Kitabullah Al Qur’an dan As Sunnah Rasulullah, menjadi guru dari umat manusia,
2. Manhaj (metode) kebangkitan Islam, yang menjelaskan jalan menuju kejayaan Islam, dan kesejahteraan umatnya, komprehensif, integral dan lengkap.
3. Adanya kepemimpinan yang Uswatun Hasanah, kuat, berani, memiliki pandangan kedepan, mampu merencanakan, memngorganisasikan, memobilisasi dan mengendalikan umat.
4. Wadah atau organisasi yang solid dan kuat, memiliki kemampuan berkembang secara dinamin, keseimbangan dan keteraturan, serta terkendali.

Pada Bab Satu, buku ini mengungkapkan Metodologi proyek kebangkitan, yang isinya antara lain Dasar-dasar Metodologi Proyek Kebangkitan; Studi sejarah, sebagai teropong empirik untuk mengenal berbagai gerakan; Studi Realitas dan melihat Prospek Kebangkitan baru.

Pada Bab Dua, buku ini memuat seruan menuju proyek kebangkitan, yang didalamnya menjelaskan tentang: Landasan Karakteristik Da’wah; Referensi proyek kebangkitan; tujuandan unsur-unsur da’wah; dan bangunan tarbiyah dalam da’wah.

Pada Bab Tiga, buku ini memuat tentang mendirikan negara teladan, yang didalamnya mengupas tentang : Fondasi bangunan negara dan slogan-slogan operasionalnya; pemikian politik memuat konsepsi konsepsi ‘Urubah, Wathaniyah, Qoumiyah, dan Alamiyah; Aktivitas politik; Program politik; Politik negara; dan aspek peradaban negara.

Akhirnya, dari kesemuanya itu Kebangkitan Islam menurut peta pemikiran Hasan Al-Banna adalah kebangkitan ummat dengan Ruhul Islam yang mengalir pada tubuhnya, kemudian mampu membangkitkannnya dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena itu Kebangkitan Islam tidak hanya pada sektor politik saja, namun juga bangkit dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, hukum,ilmu pengetahuan, dan dalam aspek kehidupan manusia lainnya.

Buku ini cukup detail dan mudah untuk memahami pemikiran Imam Hasan Al-Banna, bahasa terjemahannya cukup baik, sehingga tidak menjenuhkan pembacanya. Oleh karena itu dianjurkan untuk menambah referensi bagi umat Islam yang menginginkan adanya Kabangkyan Islam, terutama di Indonesia.

Yogyakarta, 23 November 2001


Ahmad Adaby Darban.

MENELUSURI AKAR BUDAYA JOGJA; DALAM PERSPEKTIF ISLAM

MENEMUKAN KEMBALI
AKAR BUDAYA JOGJAKARTA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM

OLEH : A. ADABY DARBAN



MUQADIMAH

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Berbicara Kebudayaan,C.Kluckhohn dan L.Koerber telah mengumpulkan
160 difinisi, yang kesemuanya memiliki muara dan titik temu bahwa Kebudayaan itu adalah man made atau ciptaan/produk dari kreativitas manusia. Dengan demikian itu perlu disadari bahwa diskusi ini adalah membicarakan “Akar Budaya Jogjakarta” dalam arti hasil kreativitas masyarakat Jogjakarta dalam menghadapi tantangan dan perjalanan hidupnya. Oleh karena itu akan dapat dilihat dinamika dan proses dialogis yang panjang dari berbagai unsur yang mempengaruhinya, sehingga akan membentuk sebuah kontruksi budaya Jogjakarta, atau lebih lanjut dikenal sebagai Budaya Jawa.

Dalam makalah pendek ini akan berusaha untuk menelusuri dalam rangka mencari unsur-unsur Islam yang mewarnai Kebudayaan Jogjakarta. Sebelumnya perlu disadari bahwa masuknya ajaran Islam dalam Kebudayaan Jogjakarta melalui suatu dinamika dan proses yang panjang. Oleh karena perkembangan kebudayaan itu melalui sebuah proses, maka tidak dapat dilihat secara hitam-putih atau kemutlakkan. Bahkan sampai kini proses itu pun belum selesai, masih terus bergulir, tergantung oleh para pelaku dan para pejuang yang mengiginkan ajaran Islam secara mantab mewarnai budaya Jogjakarta. Perjuangan untuk menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan budaya masyarakat Jogjakarta ini, kalau tidak berlebihan dapat dikatakan sebagai Jihad bit -Tsaqofah.

Oleh karena itu, usaha untuk menemukan kembali Akar Budaya Jogjakarta dalam prespektiv Islam ini, tidaklah berhenti hanya sekedar mengaguminya,namun lebih dari itu menyambung dan mengisi kembali ajaran Islam dalam kehidupan budaya Jogjakarta dimasa kini dan masa yang akan datang dengan lebih mantab.

Bila ditelusuri secara mandalam, akar budaya Jogjakarta memiliki hubungan yang sangat panjang, yaitu sejak Kerajaan Demak, Pajang, dan
Mataram Islam. Pada makalah dibatasi mulai dari berdirinya Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat, dan dengan pendekatan historis.
ISLAM DI KRATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Membicarakan Akar Budaya Jogjakarta tidak dapat dipisahkan oleh keberadaan Kraton (Kerajaan) Ngayogyakarta Hadiningrat sebagi pusat sekaligus pengembang dan penjaga budaya Jogjakarta/ Kebudayaan Jawa,
Kerajaan Ngayogjakarta Hadiningrat ( lebih lanjut disebut Kraton Jogja ) adalah pewaris syah Kerajaan Mataram Islam. Nilai dasar atau Ruh Kraton Jogja adalah Islam, oleh karena itu kunci untuk mengungkap Kraton Jogja adalah dengan ajaran Islam ( menurut GBPH Joyokusumo ).
Ajaran yang berupa Hakikat, Syari’at, dan Ma’rifat Islamiyah diusahakan berjalan dengan menggunakan simbol-simbol dan pendekatan budaya Jawa.

Dilihat dari sejarahnya, P. Mangkubumi pendiri Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, adalah putera Amangkurat IV, yang pengamalan Islamnya kuat. Sholat lima waktu tidak pernah ditinggalkan, gemar mengaji bahkan hafal sebagian ayat-ayat Al Qur’an, dan melakukan puasa Senin dan Kamis, serta peduli pada fakir miskin, kaum yang lemah di pedesaan. Pada masa mudanya terkenal berani ber amar makruf nahi mungkar untuk melawan segala bentuk kemaksiyatan, baik di lingkungan istana maupun juga di pedesaan ( Serat Cebolek ).

Ketika perang melawan Kedloliman penjajah Belanda, P. Mangubumi selalu membuat Mushola di pos-pos pasukannya di pedesaan. Mushola itu difungsikan untuk jama’ah sholat fardlu, juga untuk menyolatkan para syuhada’ yang gugur dalam perjuangan ( Babad Giyanti ).

Setelah Perjanjian Giyanti ( 1755 ) ditandatangani, P. Mangubumi diberi hak untuk mendirikan kerajaan baru bagian dari “ Palihan Nagari Mataram”, maka didirikanlah Karajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, ia sebagai raja dengan gelar “ Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatulah ing Ngayogyakarta”. Kerajaan baru ini ditetapkan sebagai kerajaan Islam, yang meneruskan tradisi kerajaan Mataram Islam. Simbol-simbol yang memiliki makna keIslaman dicantumkan dalam bangunan pisik maupun karya sastra.

Sebagai kerajaan Islam Kasultanan Jogjakarta menghidupkan syari’at Islam, yaitu antara lain menjalankan hukum Islam dengan membuat : “Mahkamah Al Kabiroh” di serambi Masjid Gedhe Kauman, disamping mumbuat masjid karajaan ( Masjid Gedhe ), juga membuat Masjid Pathok Negara ( batas negara agung/ ibukota ) dilengkapi dengan tanah perdikan untuk pesantren. Dibangun pula Masjid Panepen ( untuk I’tiqaf Sultan, letaknya di dalam kraton ), dan Masjid Suronoto untuk sholat para abdi dalem ( letaknya di Keben ). Selain masjid, dalam struktur kraton juga terdapat pejabat yang mengurusi perkembangan agama Islam, yang dikepalai oleh Penghulu Kraton, dibantu Kaji Selusinan dan para Ketib.

Kraton Jogjakarta juga masih terus menghidupkan upacara-upacara yang bernafaskan Islam, antara lain “ Sekaten”dan Grebeg Mulud ( untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.); Grebeg Syawal dan Silaturahmi Sultan dengan Rakyat ( menyambut Idul Fitri ); Grebeg Besar ( memperingati hari raya Idul Adha ), tidak lupa sultan juga membagikan Zakat Fitrah dan Hewan Qurban.

Keturunan sultan (raja), yaitu Sentana nDalem bila akan menikah harus dengan sesama muslim. Pernikahan dan pembagian hukum waris di kraton juga dengan Hukum Islam. Di dalam lingkungan beteng kraton (nJeron Beteng) tidak boleh ada warga asing China, dan tidak dibolehkan berdiri tempat ibadah kecuali hanya Masjid ( sumber Rijksblad ).

Pada awalnya Setiap Jum’at Kliwon Sultan Khutbah di Masjid Gedhe, dan juga tidak dilarang ibadah Haji. Namun setelah adanya Java Oorlog (perang Jawa/ P. Dipanegara ), maka Belanda membuat peraturan ketat kepada Sultan Jogjakarta yang dinilai patriotik melawan Belanda dan membantu P. Dipanegara dari belakang. Pihak Belanda mencurigai bahwa semangat patriotik melawan Belanda itu ada pengaruh dari Ibadah Haji di Asia Barat, sehingga dilarang untuk melaksanakan Ibadah Haji bagi Sultan Jogjakarta. Selain itu Sultan juga dibatasi untuk sholat di Masjid Gedhe, tidak boleh Khurbah, dalam rangka memisahkan silaturahmi dan kharisma dengan rakyatnya. Terhadap karya tulis resmi kerajaan mendapatkan sensor ketat, sehingga mematikan kreativitas para pujangga kraton. Yang lebih membelenngu sultan ialah, untuk pemerintahan harian harus didelegasikan kepada Patih ( yang digaji dan mendapat pengaruh Belanda ).

Selain itu Belanda mulai memasukkan pengaruhnya ke dalam kraton, dengan melalui pendidikan, seperti Sekolah Taman ( Gurunya orang-orang Belanda ); Memasukkan para Suster Rumah sakit Belanda untuk merawak keluarga sultan. Pihak penguasa Belanda juga meminta tanah milik kraton di luar benteng untuk didirikan antara lain Rumah Sakit, Biara, Gereja, dan Sekolah-sekolah Nasrani di Jogjakarta. Pada waktu itu posisi sultan lemah, sehingga tidak dapat menolak. Oleh karena itu, pada era pemerintahan HB V sampai dengan HB VII, kegiatan ke –Islaman kraton agak kurang terang-terangan, sehingga banyak dimunculkan dengan simbol-simbol yang dibungkus dengan budaya Jawa.
ISLAM DALAM BUDAYA JOGJAKARTA

Ada dua kaidah dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa, yaitu :
Pertama Prinsip RUKUN, yaitu untuk mewujudkan dan mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis, yaitu tenang, selaras, tenang, dan tentram, bersatu saling membantu. Kedua Prinsip HORMAT, memainkan peran yang besar dalam mengatur pola interaksi sosial masyarakat Jawa.( baca: Cliford Geertz,The Religion of Java )

Selain dua kaidah dasar, masyarakat Jawa termasuk Jogjakarta memiliki beberapa nilai yang menjadi pegangan dalam kehidupannya, yaitu antara lain :
Nrimo : mensyukuri kepada apa yang telah diperoleh, dan jika terjadi sesuatu halangan setelah diusahakan, maka mereka nrimo atau pasrah kepada Allah, menyadari bahwa itu sudah menjadi kehendaknya ( “nrimo ing pandum”).
Dalam ajaran Islam sikap mensyukuri karunia dari Allah SWT. merupakan kewajiban bagi seorang hamba, dan Allah SWT. akan memberikan berkah karunia yang lebih banyak di masa mendatang.

Sabar : “sing sabar-subur”, artinya orang yang sabar itu akan mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan. Dalam menyelasaikan masalah tidak boleh gegabah, dalam mengusahakan sesuatu tidak “ “nggege mangsa”, menurut prosedur yang benar, dilakukan dengan penuh kesabaran. Ajaran tentang sabar ini jelas berasal dari ajaran Islam.

Gotong Royong: adalah nilai kebersamaan yang saling peduli, saling bantu membantu dalam meringankan beban dalam kehidupan bermasyarakat. Gotong Royong ini juga terdapat dalam ajaran Islam yang menganjurkan untuk “ Bertolong-tolonglah kamu dalam perbuatan baik berdasarkan Taqwa “

Taqwa: dalam masyarakat Jawa, taqwa merupakan pakaian dalam kehidupan, yaitu diajarkan dekat dengan Allah SWT. dengan menta’ati perintah dan menjauhi laranganNya. Taqwa ini disimbolkan dengan Baju
Takwo.

Rembug Bareng : di dalam memutuskan sesuatu yang mengandung harkat, kepentingan orang banyak, maka selalu diadakan Rembug Bareng, sering juga disebut Rembug Desa. Hal ini mengingatkan kita pada ajaran Islam “ Musyawarah”, untuk memutuskan sesuatu sehingga akan mendapatkan wawasan dan keadilan.

Tepa-Slira : adalah memahami dan menghormati perasaan orang lain, dalam rangka menjaga persaudaraan, dan menjauhkan dari segala macam konflik. Dalam Ajaran Islam manusia diharapkan untuk Tafahum atau saling memahami dalam perbedaan, diharapkan akan dapat saling menjaga diri dari perpecahan.

Ojo Dumeh : dilarang berbuat kibir (takabur/Sombong), dan merendahkan orang lain. Larangan Takabur-Sombong ini dalam ajaran Islam jelas sangat ditekankan kepada umat.

Masih banyak beberapa sifat budaya Jogjakarta/Jawa yang memiliki nafas yang sama dengan ajaran Islam. Ajaran Islam yang sudah lama dikembangkan dalam masyarakat Jogjakarta, memiliki andil yang besar dalam mewarnai kehidupan berbudaya. Hanya dalam penampilannya banyak yang dibungkus dengan istilah Jawa.

BUDAYA SENI

Budaya berwujud Seni yang mendapatkan nafas Islam di Jogjakarta ini dapat dilihat antara lain pada : Seni Sastra, seperti Serat Muhammad, Serat Ambiya’, Serat Tajus Salatin, dan sebagainya. Seni Suara, seperti Macapat, Langen Swara, Slawatan, dan sebagainya. Seni Lukis, seperti kaligrafi di bangunan kraton dan masjid. Seni Musik, seperti Gamelan Sekaten. Seni Pedalangan, seperti dimunculkannya Wayang Sadat, Episode Dewa Ruci dan Jimat Kalimasada, serta tokoh Punokawan dalam pewayangan, san sebagainya.

Dalam seni pengaturan negera ( berpolitik ), pejabat negara mendapatkan status sebagai “ Pamong” sama dengan “Pangon” yang artinya penggembala. Makna yang terkandung di dalamnya ialah, pejabat negara adalah pelayan umat, yang melindungi, menngusahakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, zaman dulu tidak menggunakan kata “ Pemerintah”, yang lebih berkonotasi “ Tukang Perintah “, kemudian berdampak justeri minta dilayani rakyat dengan perimntah-perintahnya. Sesungguhnya istilah Pamong lebih tepat, dan selaras dengan ajaran Islam, yaitu RO’IN, yang artinya penggembala atau yang mengelola.

Demikian sedikit tentang Usaha menemukan kembali Akar Budaya Jogjakarta dalam Perspektif Islam. Apa yang disampaikan ini masih sangat terbatas dan bagian kecil dari seluruh akar budaya Jogjakarta yang bernafaskan Islami. Kiranya perlu dikembangkan dengan penelitian lebih lanjut dikemudian hari. Alhamdulillaahi robbil’alamiin.




MENEMUKAN KEMBALI

AKAR BUDAYA JOGJAKARTA

DALAM PERSPEKTIF ISLAM









Oleh : Ahmad Adaby Darban









DISAMPAIKAN DALAM SEMINAR
MENGGAGAS MASA DEPAN YOGYAKARTA
DPW PARTAI KEADILAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
27 JULI 2002.

BELAJAR DARI MONUMEN; MENELUSURI JEJAK SEJARAH

MENELUSURI PENINGGALAN SEJARAH
UNTUK MEMPERKOKOH BERBANGSA
( SEBUAH PENGANTAR PENDEK )

Oleh : AHMAD ADABY DARBAN


Setiap peristiwa sejarah akan meninggalkan traces ( jejak-jejak ) sejarah, baik lengkap atau tidak lengkap. Jejak-jejak peninggalan sejarah itulah yang disebut sumber sejarah, yang kemudian dikumpulkan oleh para sejarawan/peneliti sejarah, dan dilakukan rekonstruksi, sehingga menjadi sebuah kisah sejarah. Kisah Sejarah berupa tulisan baik bersifat diskriptif naratif, maupun diskriptif analitis, dengan nuansa bahasa menurut penulisnya, dan disertai gambar-gambar sebagai pendukungnya.

Dengan penulisan sejarah itu, sebuah peristiwa sejarah dapat diabadikan dengan narasi dan retorika, sehingga para generasi penerus bangsa ini dapat mengetahui akar kehidupan bangsa kita, bangsa Indonesia. Memang penulisan sejarah itu tidak terlepas dari sibjektivitas fersi, yang dipengaruhi oleh zaman, idiologi, dan kehidupan penulisnya. Namun, akan muncul objektivitas sejarah berdasarkan pemakaian sumber yang akurat-kuat, dengan rethorika yang objektif. Dari buku-buku sejarah, kemudian dikembangkan menjadi adegan dalam seni Drama, Kethoprak, Ludruk dan kemudian ke dunia perfileman/senetron, dikembangkan lagi melalui VCD,DVD, dan juga melalui internet. Dengan demikian sebuah peristiwa sejarah itu dapat tersebar dan dinikmati oleh masyarakat luas.

MONUMEN SEBAGAI SALAH SATU BUKTI SEJARAH

Monumen adalah salah satu upaya manusia untuk mengabadikan bukti adanya peristiwa sejarah. Menurut tujuannya, monumen dibuat ada yang dengan kesengajaan memang untuk sebuah peninggalan, agar generasi yang akan dating tetap mengenang suatu peristiwa sejarah, namun juga ada monumen dibangun dengan begitu saja tidak punya maksud untuk dikenang.
Menurut jenisnya monumen ada dua, yaitu pertama monumen mati ( seperti bangunan Tugu, Prasasti, Candi yang tidak untuk ibadah, Patung-pating pahlawan dan sebagainya ), dibuat untuk peringatan, tetenger, dan sebagai peninggalan, sedangkan kedua adalah monumen hidup, yaitu monumen yang sengaja dibuat untuk peringatan, tetenger adanya suatu peristiwa atau peninggalan, yang masih difungsikan oleh masyarakat untuk aktifitas tertentu. Sebagai contoh monumen hidup ini antara lain : Monumen Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diwujudkan Masjid Istiqlal di Jakarta (menempati lokasi bekas Benteng Belanda pusat VOC ), Monumen Perebutan Kota Baru Yogykarta yang diwujudkan dengan Masjid Syuhada’, dan beberapa monumen yang diwujudkan untuk sekolah. Kesemuanya itu monumen yang masih dimanfaatkan bagi masyarakat luas.

BELAJAR DARI MONUMEN

Terlepas itu monumen hidup atau monumen mati, semuanya punya manfaat bagi kita generasi kini dan generasi yang akan datang. Di samping dapat informasi dari buku-buku sejarah, media komunikasi baik radio, film,tv,dan sebagainya, kita perlu mengunjungi monumen peninggalan sejarah, dimana sebuah peristiwa sejarah itu terjadi dan kita dapat mengunjungi menyaksikan dari dekat tempet kejadian peristiwa itu.

Lawatan Sejarah dengan mengunjungi berbagai monumen merupakan salah satu upaya yang baik untuk pendidikan sejarah bagi kita semuanya. Dalam kunjungan ke monumen, akan disaksikan sebuah bangunan atau bentuk apa saja yang dibuat sebagai monumen itu seakan benda yang mati, namun meninggalkan pesan yang berharga bagi peristiwa sejarah. Oleh karena itu, kesempatan yang baik kita belajar dengan media monumen yang dikunjungi.

Belajar dari monumen adalah mengunjungi, dan mendengarkan penjelasan dari “yang nara sumber”, kemudian penajaman pengetahuan tentang peristiwa sejarah yang terjadi di monumen itu ( dapat mengkaji relief, diorama, benda-benda, dan setting tempat peristiwanya secara langsung ). Dengan demikian diharapkan akan lebih mengetahui & memahami suatu kejadian sejarah yang ada di monumen itu, tidak hanya hafalan saja.

Sebagai contoh : Ketika mengunjungi Makam Imogiri, kita akan mengetahui dan memahami perjuangan Sultan Agung melawan Belanda, kepala JP Coen yang terbunuh ( dikubur di tangga terbawah makam ?), dan mengetahui tentang sejarah raja-raja Mataram Islam, Ngajogyakarto dan Surakarta. Ketika kita mengunjungi monumen Tentara Pelajar (TP) di Wates, kita akan memahami bagaimana peranan para pelajar yang gigih berani mati melawan pendudukan Belanda. Ketika mengunjungi monumen Kentungan, akan mengetahui dari dekan tempat pembunuhan dan penguburan Kol. Katamso dan Let.Kol. Sugiyono, sebagai korban salah satu bukti kebiadaban pemberontakan G.30.S./PKI.. Ketika berkunjung ke monumen Yogya Kembali, kita dapat pengetahuan tentang perjuangan rakyat Yogyakarta bersama Sultan, para ulama,para pemimpin kelaskaran, angkatan perang, bersatu padu mengusir Belanda dari Yogyakarta, sehingga Belanda mundur keluar dari Yogyakarta, dan Yogyakarta kembali menjadi ibukota RI.

Ketika kita mengunjungi monumen Gading, kita akan mendapat pengetahuan tentang sebuah Pelabuhan Udara buatan Bala Tentara Jepang dalam rangka memperkokoh pendudukannya di Yogyakarta, dan juga berfungsi sebagai pengiriman Romusha.

Ketika kita mengunjungi monumen Ki Ageng Giring, kita akan dapat pengetahuan tentang latar belakang berdirinya kerajaan Mataram Islam, berdasarkan sumber Folklor dan Babad.

Contoh di atas hanyalah sebagaian yang akan dikunjungi pada program Lawatan Sejarah Periode ini. Memang sengaja tidak dijelaskan secara detail dalam catatan pendek ini, sebab nanti akan dijelaskan lebih panjang, lebar, dan mendalam oleh nara sumber lainnya.

PENDALAMAN INFORMASI DARI MONUMEN

Setelah para guru dan siswa bersama-sama mengunjungi beberapa monumen yang ada di DIY, maka agar tidak lupa dan hilang begitu saja perlu diadakan pendalaman. Pendalaman ini sebagiknya dilakukan bersama antara guru dan siswa ( system Student Center Learning ), yaitu guru sebagai fasilitator dan mitra siswa dalam menyusun laporan pendalaman terhadap pengetahuan tentang monumen yang telah dikunjungi.

Agar pendalaman ini tidak sekedar kesan dan pesan setelah melihat monumen, maka perlu diperhatikan kompetensinya, yaitu bagaimana siswa faham, mengetahui, dan mampu menjelaskan (eksplanasi ) terhadap salah satu peristiwa sejarah yang dimonumenkan, secara mendalam.

Demikianlah catatan singkat yang dapat disajikan dalam pertemuan ini, diharapkan dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 29 Juli 2004

A. Adaby Darban, Drs., S.U.

MASJID GEDHE KAUMAN JOGJAKARTA

MASJID GEDHE JOGJAKARTA
SEBUAH SEJARAH RINGKAS




I. MUQADIMAH

Masjid Gedhe Jogjakarta adalah masjid tertua yang dibangun oleh Kerajaan Islam Ngayogyokarto Hadiningrat atau Kasultanan Jogjakarta. Masjid Gedhe dibangun setelah Sri Sultan Hamengku Buwana I selesai membangun kraton baru, sebagai pusat pemerintahan baru hasil dari perundingan Giyanti (13-Februari- 1755 ). Perundinganm Giyanti merupakan penyelesaian akhir konflik internal Kerajaan Mataram akibat intervensi Belanda, sehingga Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat.

Sri Sultan Hamengku Buwana I sebelum jadi raja, ia seorang muslim yang taat mengerjakan sholat, puasa wajib dan puasa senin-kamis. Selain itu, ia juga pemberani dalam ber-amarmakruf-nahi mungkar membersihkan kemaksiatan, menegakkan keadilan dan kebenaran, serta melawan penjajahan. Ketika perang gerilya melawan Belanda, ia mumbuat pos-pos strategis untuk pasukannya dilengkapi dengan Mushola. Oleh karena itu, maka ketika Sri Sultan Hamengku Buwana I jadi raja, maka di samping membangun keraton ia pun juga mengutamakan membangun masjid jamik, sebagai sarana ibadah raja bersama rakyatnya. Dengan demikian, maka pada tahun 1773 M, Sri Sultan Hamengku Buwana I berhasil membangun masjid yang diberi nama awal dengan Masjid Gedhe, kemudian masjid itu dikenal pula dengan nama Masjid Agung, dan Masjid Besar, pada akhir ini ditetapkan sebagai Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun letak Masjid Gedhe di sebelah barat laut Kraton Jogjakarta, juga di barat Alun-alun Jogjakarta.

Dalam rangka memakmurkan Masjid Gedhe, kepengurusannya dipegang oleh Penghulu Kraton, dibantu oleh Ketib, Modin, Merbot, dan Abdi Dalem Pamethakan serta Abdi Dalem Kaji Selusinan dan Abdi Dalem Barjamangah. Mereka itu sebagian ditempatkan di lingkungan sekitar Masjid Gedhe, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kampung bernama Pakauman ( tempat para Kaum = Qoimmuddin = Penegak Agama ). Dengan demikian Masjid Gedhe menjadi makmur, sebagai pusat berjama’ah dan juga menjadi pusat pengkajian serta pengadilan agama Islam di Jogjakarta.

Tulisan ini menyajikan sejarah ringkas Masjid Gedhe, yang di dalamnya juga dikenalkan berbagai kelengkapan dan fungsinya yang unik salah satu masjid kerajaan di Jawa, Indonesia.

II. SEJARAH SINGKAT MASJID GEDHE KAUMAN JOGJAKARTA

Mesjid Gedhe Jogjakarta merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dengan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat, yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ing Ngayogyokarto. Masjid Gedhe didirikan pada tanggal 29 Mei 1773 ( dalam prasasti : Pada hari Ahad Wage, 6 Robiul’akhir tahun Alip, sengkalan :“GAPURA TRUS WINAYANG JALMA” ( 1699 Jw.=1187 H=1773M)
Pemrakarsa adalah Sultan dan Kyai Penghulu Faqih Ibrahim Diponingrat, sedangkan sebagai arsiteknya yang terkenal waktu itu Kyai Wiryokusumo.

Oleh karena jamaahnya melimpah, maka pada tahun 1775 dibangunlah Serambi Masjid Gedhe ( didirikan pada: Hari Kamis Kliwon, tanggal 20 Syawwal tahun Jimawal, sinengkalan “ YITNO WINDU RESI TUNGGAL”=1701 Jw. Atau “TUNGGAL WINDU PANDITO RATU”= 1701 Jw.= 1189 H= 1775 M ). Serambi Masjid Gedhe selain dipakai untuk sholat, juga difungsikan sebagai “AL MAHKAMAH AL KABIROH”, yaitu sebagai pertemuan Alim Ulama, Pengajian Dakwah Islamiyah, Mahkamah untuk Pengadilan masalah keagamaan, pernikahan, perceraian, dan pembagian waris. Selain itu juga untuk peringatan hari-hari besar Agama Islam.

Selain Serambi, dibangun pula ”PAGONGAN” ( Pa= tempat, Gong= salah satu instrumen alat musik Jawa Gamelan), letaknya di halaman masjid, di dua tempat yaitu sudut kiri dan sudut kanan halaman. Tempat ini digunakan sebagai tempat peralatan dakwah dengan pendekatan kultural yaitu Gamelan Sekaten, yang dibunyikan pada setiap peringatan Maulid nabi Muhammad Saw. Instrumen musik Gamelan Sekaten ini sangat terkenal dan punya daya tarik pada masyarakat untuk mengenal dan kemudian memeluk agama Islam dengan sukarela. Nama SEKATEN sendiri berasal dari kata ”SYAHADATTAIN” yang berarti dua kalimah syahadat.

Pada tahun 1840 dibangun REGOL MASJID yaitu pintu gerbang yang dikenal sebagai GAPURO, berasal dari kata ”ghofuro” ampunan dari dosa, adapun maksudnya mungkin bila orang memasuki masjid melewati Gapuro, berniat baik memasuki Islam, akan mendapatkan ampunan dosa. Pembangunan regol ini dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 Syuro tahun Dal, sengkalan ”PANDITO NENEM SEBDO TUNGGAL” = 1767Jw.=1255 H = 1867 M.

Pada tahun 1867 di Jogjakarta terjadi gempabumi yang cukup dahsyat, yang akibatnya termasuk runtuhnya bangunan Serambi Masjid Gedhe, dan bahkan juga membawa korban termasuk Kyai Pengulu yang menjabat pada saat itu. Peristiwa LINDU atau gempabumi itu tercatat pada prasasti yaitu pada hari Senin Wage, pukul 5 pagi, tanggal 7 Sapar tahun Ehe, sengkalan ”REBAHING GAPURA SWARA TUNGGAL” = 1796 Jw.=”WARNA MURTI PAKSA NABI” 1284 H = 1867 M. Namun tidak lama kemudian Sri Sultan Hamengku Buwana VI memberikan kagungan dalem ”SURAMBI MUNARA AGUNG” yang sedianya akan dipakai untuk bangunan pagelaran, kemudian ditempatkan sebagai Serambi Masjid Gedhe. Pemasangannya menurut prasasti ialah : pada hari Kamis Kliwon, pukul 09 pagi, tanggal 20 Jumadilakhir tahun Jimawal”PANDITA TRUS GIRI NATA”= 1797 Jw.”GATI MURTI NEMBAH HING HYANG”= 1285 H = 1868 M. Serambi Masjid Gedhe yang baru ini luasnya dua kali lipat dari serambi sebelumnya yang roboh, serambi yang baru masih utuh sampai kini.

Pada tahun 1917 dibangun gedung PAJAGAN ( Pa= tempat, Jaga = berjaga keamanan ), yang terletak di kanan kiri regol masjid, memanjang ke utara dan ke selatan. Gedung ini digunakan untuk para Prajurit Kraton ( tentara Kraton ), untuk keamanan masjid dan setiap hari besar Islam. Pada zaman Revolusi Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, gedung Pajagan ini digunakan untuk pusat MARKAS ULAMA ASYKAR PERANG SABIL (MU-APS)yang membantu TNI melawan Agresi Belanda.

Pada tahun 1933 atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, lantai serambi masjid yang tadinya dari batu kali diganti dengan tegel kembangan yang indah. Selain itu pula diadakan penggantuian atap masjid, dari sirap diganti dengan seng wiron yang tebal dan lebih kuat. Pada tahun 1936 atas prakarsa Sultan Hamengku Buwana VIII pula diadakan pergantian lantai dasar masjid, yang dulunya dari batu kali kemudian diganti dengan marmer dari Italia.

Pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Gedhe juga mendapat perhatian dari pemerintah, yaitu diadakan renovasi dan berbagai bentuk pemeliharaan secara bertahab hingga sampai kini.

III. TATA RUANG MASJID GEDHE KAUMAN JOGJAKARTA

Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta berbagunan itu tradisional Jawa, yaitu beratap tumpang tiga, dengan mustaka menggambarkan daun kluwih dan gadha. Arti makna atap tumpang tiga ialah tahapan kehidupan manusia dari Hakekat, Syari’at, dan Ma’rifat, kemudian makna daun kluwih adalah Linuwih= punya kelebihan yang sempurna, dan Gadha berarti tunggal= menyembah Tuhan Yang Maha Esa, makna keseluruhan ialah bila manusia sudah sampai Ma’rifat, hanya menyembah kepada Allah Swt. yang Tunggal ( taukhid ), maka manusia itu punya kelebihan kesampurnaan hidup. Dengan demikian siapa saja yang ikhlas ke masjid untuk ibadah kepada Allah Swt., maka akan selamat dunia akhiratnya.

Ruang Utama
Adalah ruang inti masjid yang letak lantainya paling tinggi sebagi ruang untuk ibadah sholat terutama rowatib. Ruang inti ini dilengkapi dengan PANGIMAMAN ( tempat imam memimpin sholat /MIHRAB)
MAKSURA ( tempat pengamanan sholat raja ) letaknya di samping kiri
belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar, beram
kotak-kotak, di samping kanan dan kiri terdapat tempat tombak
dan di dalamnya berlantai marmer lebih tinggi dari yang di luar.
Apabila Sultan berkenan sholat berjamaah di Masjid Gedhe, ia
Mengambil tempat di dalam Maksura tersebut.
MIMBAR (tempat khotib menyampaikan khotbah jum’at ), terletak di
sebelah kanan belakang mihrab. Mimbar dibuat dari kayu jati
berhiaskan ukiran indah bentuk ornamen stilir tumbuh-tumbuh-
an dan bunga di prada emas. Kewibawaan mimbar ini bagaikan
singgasana berundak.
SHAF SHOLAT, ialah garis yang mengatur jamaah sholat agar mengarah
ke arah kiblat, dan lurus serta rapi. Pada mulanya arah sholat
lurus ke barat, namun setelah adanya perkembangan ilmu pe-
ngetahuan, ternyata arah kiblat (Ka’bah) agak serong keutara,
maka oleh KHA Dahlan dipelopori buat garis shof ke arah kiblat
yang sebenarnya.

2. Pawestren adalah ruangan khusus untuk sholat jama’ah kaum perempuan,
tempatnya di sebelah selatan bangunan inti masjid.

3. Yatihun adalah ruangan khusus untuk istirahat para ulama, khotib, dan mer-
bot. Selain itu juga digunakan untuk musyawarah membicara-
kan persoalan agama. Tempat ini di samping utara inti masjid.

4. Blumbang ( kolam ), pada awalnya Masjid Gedhe ini dilengkapi kolam me-
lingkar di muka Serambi. Kolam ini lebarnya lebih kurang 8
meter, dengan kedalaman 3 meter, yang berfungsi untuk ber-
suci dan ber wudlu sebelum masuk masjid. Namun pada saat
sekarang ini kolam sekedar hiasan, yang lebarnya tinggal 2
meter, dan dalamnya hanya 0,75 meter melingkar dimuka se-
rambi.

5. Serambi ( beranda ) terletak di sebelah timur bagunan inti masjid, sebagai
tempat sholat bila jama’ah dalam masjid inti penuh. Selain itu
juga digunakan sebagai tempat da’wah, pengajian, serta di-
fungsikan sebagai Mahkamah Al Kabiroh. Bila bangunan inti
masjid tidak glamour, tiangnya tanpa dicat, dan sedikit sekali
ragam hiasnya, sedangkan di serambu terkesan glamour se-
mua tiangnya di cat, terdapat berbagai ragam hias yang dicat
warna-warni dan diprada emas. Pada tiang serambi terdapat
kaligrafi ” Ar Rahmaan” dan ” Muhammad” yang diujudkan
bentuk stilir tumbuh-tumbuhan. Atap serambi bentuk limasan.

6. Benteng Masjid ialah bangunan tembok melingkari masjid. Benteng bagian
muka agak pendek, dan seriap gerbang masuk masjid di ka –
nan kiriya ada hiasan ” Buah Waluh” yang maknanya menye
but nama Allah Swt. Supaya selalu ingat pada Allah Swt.
7. Pasucen ialah tempat permulaan suci, letaknya memanjang ke timur, di muka
bagian tengah serambi ke arah timur ( seperti doorlop ) menga-
ke regol. Ini sebagai jalan utama Sultan masuk masjid Gedhe.

8. Pagongan ada dua bangunan di kanan dan kiri bagian dalam plataran masjid
Pagongan ini tempat Gamelan Sekaten yang dibunyikan setiap
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Yang diadakan oleh
Sri Sultan bersama rakyatnya.

9. Pajagan adalah tempat prajurit kraton berjaga keamanan masjid. Gedung ini
terletak memanjang di kanan kiri Gapura. Pada saat ini diguna-
untuk perpustakaan masjid dan tempat pertemuan.

10. GAPURA ( REGOL) adalah pintu gerbang utama memasuki kompleks mas-
jid. Bentuk gapuro iniadalah Semar Tinandu. Melalui gapura
ini para ulama meng-Islamkan masyarakat yang hendak me-
lihat dan mendengarkan bunyi gamelan di plateran masjid.


IV. Aktivitas Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta

a. Aktivitas rutin setiap Jum’at untuk Sholat Jum’at, kapasitas masjid seka-
rang ini sudah penuh, sampai diluar serambi.
b. Pengajian : 1. Khusus Bahasa Jawa ( setiap habis subuh hari sabtu )
2. Tafsir Al Qur’an ( setiap malam Ahad )
3. Remaja Masjid ( setiap Ahad pagi )
4. Antara Maghrib & Isya’ ( setiap malam Jum’at )
5. Tafsir Kitab Kuning ( setiap malam Sabtu )
c. Peringatan Hari Besar Islam
d. Romadlon : 1. Sholat Tarowih dua kali, sehabis Isya’ dan menjelang sahur
2. Tadarus Al Qur’an dan terjemahannya
3. Takjilan buka bersama untuk 600 orang setiap hari
4. Iktikaf,
5. Kajian Ahad Pagi, dan sebagainya.
e. Insidental : Untuk kegiatan sosial, politik , kebudayaan dan sebagainya,
seperti Do’a bersama dan Sholat Lail untuk perjuangan Islam,
baik pada zaman Jepang, Revolusi pisik mempertahankan RI,
perjuangan amar makruf nahi mungkar untuk perbaikan dan
perubahan pemerintahan ( zaman penumbangan orde lama,
zaman reformasi penumbangan orde baru, dan sebagainya.
Beberapa kegiatan menerima tamu dari luarnegeri dan dalam
Negeri.
Kegiatan pengIslaman bagi orang yang sadar masuk Islam.
Kegiatan upacara pernikahan dan walimatu urusy, dan juga
Upacara menghantarkan jenzah.
STOP SEMENTARA
AHMAD ADABY DARBAN
MAPAK TILAS
“MAKNA KAMPUNG DI YOGYAKARTA”
=================== OLEH: H.A.ADABY DARBAN===
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang kemudian dikenal dengan sebutan Yogyakarta, secara historis adalah nama wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang di dalam struktur geografis, khususnya tata interior kotanya memiliki Toponim (nama-nama yang mengandung makna) terkait dengan kasultanan.

Pada malam ini khusus dibicarakan “Napak Tilas Makna Kampung, Khususnya Kauman “. Setiap kampung dan jalan di Yogyakarta ini memiliki nama, ada yang masih dipertahankan nama lama, dan ada pula yang sudah diubah dengan nama baru. Berikut ini secara singkat dicoba melacak nama-nama kampung lama, antara lain sebagai berikut :

1. Kauman, dari kata Pakauman ( Kaum dari Qoimuddin=Penegak Agama )
kampung tempatnya di sekitar Masjid Gedhe, yang dihuni oleh
awalnya para Ulama Kraton, sebagai kampung santri.
2. Gemblakan, dari kata Gemblak yang artinya sebuah profesi pembuat per-
alatan dapur dari tembaga, kampung itu dihuni sebagian besar
pembuat peralan itu.
3. Siliran, dari kata Silir yang artinya Srati atau pemelihara gajah kraton, ma
ka kampung itu dihuni sebagian besar adalah srati gajah.
4. Gamelan, dari kata Gamel yang artinya Srati atau pemelihara kuda kraton
maka kampung Gamelan itu penghuninya para Gamel.
5. Namburan, dari kata Tambur yang artinya petugas penabuh genderang
kraton.
6. Suronatan, dari kata Suranata artinya abdidalem yang mengurusi keaga-
maan dalam kraton, maka kampung ini juga kampung santri.
7. Klitren, dari kata Koeli-train
8. Kemasan, kampung komunitas pengrajin emas
9. Dagen, dari kata Undagi yang artinya meubel, tempat komunitas pembu-
meubel rumah tangga.
10. Grejen, dari kata Greji yang artinya penjahit, tempat ini sebagai komuni-
tas para penjahit- bordir pakaian.
11. Kampung-kampung prajurit kraton : Wirobrajan (Wirobrojo); Bugisan
(Bugis); Langenarjan; Patangpulan; Langenastran, dsb.
12. Kampung-kampung yang mengambil nama daerah tempat tinggal bang-
sawan, seperti : Magkubumen; Purwodinigratan; Tejokusuman;
Yudonegaran; dan sebagainya.

KAMPUNG KAUMAN

Khusus untuk kampung Kauman, nama ini dikenal tidak hanya di Yogyakar-
ta, namun juga dikenal di seluruh Jawa Tengah & Jawa Timur, bahkan seba-
gian di Jawa Barat. Ciri Khas Kampung Kauman sama, yaitu dihuni sebagian besar kaum muslimin yang aktif, bahkan tempat inggal para ulama.

Kampung Kauman Yogyakarta, memiliki nilai historis antara lain :
1. Sengaja didirikan oleh Sultan HB I sekitar 1760-an, setelah Perjanjian
Giyanti, dan setelah berdiri Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Mas-
jid Gedhe. Fungsinya sebagai Pejaga & Penegak Ruhaniyah Islamiyah Kraton sebagai kerajaan Islam, dan memakmurkan masjid.
2. Tempat tinggal Penghulu ( Pemimpin Keagamaan Islam ) Kraton Nga –
yogyakarta Hadinigrat, dan tempat tinggal para ulama kraton yang memakmurkan masjid dan upacara-upacara keagamaan.
3. Terjadi perkawinan Indogami Kampung yang menyebabkan satu kam –
pung Kauman punya hubungan famili. Selain itu juga sebagai sentral perkawinan dengan kampung-kampung santri lain dari sekitar Yogya, sampai Pekalongan, Jombang, Tuban, dan sebagainya.
4. Penggerak perjuangan perlawanan terhadap kolonial, baik sebelum Pro-
klamasi Kemerdekaan, maupun dalam perang mempertahankan kemerdeklaan. Sebagai Markas APS ( Asykar Perang Sabil), Hizbullah dan Sabilillah.
5. Kauman kampung tempat berdirinya Muhammadiyah, dan lembaga Bela
Diri Tapak Suci yang telah menasional.
6. Tempat Rapat Akbar untuk menggelorakan perjuangan masyarakat Indo-
nesia ( Melucuti Jepang, Mempertahankan Ibu kota RI Yogya, Pembubaran PKI dan penumbangan Orde Lama, dan Penumbangan Orde
Baru ).

Yogyakarta, 5 Agustus 2001

Kamis, 24 September 2009

WALI SANGA; AWAL PENYEBAR ISLAM DI JAWA

WALI SANGA
PENYEBAR ISLAM DI TANAH JAWA

Oleh :
Ahmad Adaby Darban

Iftitah
Proses awal sejarah perkembangan Islam di Indonesia pada umumnya, dan di Jawa pada khususnya amat menarik, dikarenakan sebagian besar dengan pendekatan sosial - budaya, dan dilaksanakan dengan damai. Pada data semacam notilen musyawarah para ulama awal penyebaran Islam dinyatakan antara lain:
“ Ngenani anane sumawana kiprah mekare tsaqofah Hindu ing Nusa
salaladane, kewajibane para wali arep alaku tut wuri hangiseni,
darapon supaya sanak-kadang Hindu malah lega-legawa manjing
ing Islam “ ( Ki Musa Al Mahfuldz.Wayang; falsafah Jawa Islam.
Pusat Penelitian Kebudayaan UGM, 1984 ).
Kebijakan penyebaran Islam dengan tut wuri hangiseni diwujudkan dengan bentuk akulturasi antara Islam dan budaya lokal yang telah ada.
Sebagai contoh, pada gerakan dakwah ada dua bentuk ( metode air leideng dan air sumur ). Dalam metode air leideng, dilakukan oleh para wali menyebarkan Islam dengan mendatangi masyarakat objek dakwah, sedangkan metode air sumur yaitu dengan mendirikan pondok-pondok pesantren, sehingga yang akan belajar Islam “ngangsu ilmu” mendatangi tempat para ulama. Lembaga pendidikan pada zaman Hindu disebut Padepokan, di dalamnya terdapat Rsi/Begawan dan para Cantrik. Pada zaman Islam lembaga & sistem pendidikan ini tetap digunakan, namun diubah namanya jadi Pondok dan gurunya disebut Kyai, muridnya disebut Santri.( tempat para santri mondok / belajar disebut Pa-Santri-an=Pesantren ).
Adapun nama Kyai berasal dari Rakya-i ( sansekerta ) atau Kya-hi ( cina ), yang bererti orang yang dihormati/terhormat. (Ahmad Adaby Darban, Fragmenta Sejarah Islam Indonesia. JP.Books, 2008,hlm 4-5 ).
Dakwah yang langsung ke masyarakat dilakukan oleh para ulama dengan menggunakan budaya lokal yang ada seperrti Wayang, musik Gamelan, tembang Mocopat, dan berbagai upacara keagamaan. Dakwah semacam ini telah direncanakan oleh para wali pemula penyebar Islam di Jawa.

TENTANG WALI
Nama Wali Sanga sangat dikenal dan akrab di kalangan masyarakat Jawa, sebagai sebutan bagi nama ulama’ awal penyebar Agama Islam di Jawa. Nama Wali Sanga berasal dari dua kata yaitu wali yang berasal dari bahasa Arab Waliyullah berarti orang yang mencintai dan sekaligus dicantai Allah Swt., sedangkan kata sanga berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. ( Ridin Sofwan dkk.,Islamisasi di Jawa.2004, hlm.7 ). Dengan demikian maka Wali Sanga adalah sembilan orang ulama yang dicintai dan mencintai Allah Swt., yang dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar muballigh yang berdakwah menyebarkan Islam pada dekade awal di Jawa.
Nama Wali Sanga pada umumnya digelari dengan Sunan berasal dari kata Suhu nan ( dari bahasa cina yang artinya Guru atau Pujangga ), atau dari bahasa Jawa Suhun è Susuhunan yang berarti sangat hormat / sangat dihormati.

Asal usul para Wali terdapat berbagai pendapat, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa para wali itu ada yang memiliki darah campuran antara lain dengan bangsa Arab, Persia, IndoChina, Campa, China, dengan asli Nusantara. Sebagai contoh antara lain, dalam serat Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Raden Patah adalah peranakan China, dari ayah Prabu Brawijaya dan ibu seorang puteri China/ Campa. Namun menurut De Graaf dan Pigeud, Raden Patah ada keturunan China Mongolia ( berdasarkan Hikayat Hasanuddin ).
Demikian pula dengan Sunan Gunung Jati, yang sering disebut dengan nama Fatahillah, Falatehan, dan Syarif Hidayatullah, menurut beberapa ketarangan berasal dari Pasai ( Aceh ), ada pula yang mengatakan berasal dari keturunan Puteri Rara Santang dari Pajajaran yang nikah dengan Sultan Mesir ( sumber: Bahan-bahan Sejarah Islam di Jawa Tengan Bagian Utara. Lembaga Research & Survey IAIN Wali Songo, 1982.,hlm.19-20 ). Adapun Sunan Kalijaga sering disebut berdarah asli Jawa, namun juga ada yang menyatakan ada keturunan Arab ( dari Brandal lokajaya atau Raden Syahid ).
Menurut kebiasaan lazimnya pada waktu itu, penyebutan nama wali tidak diikuti oleh nama aslinya, namun dengan nama tempat di mana wali itu tinggal atau berda’wah, seperti,
Sunan Ampel, namanya R. Rahmat
Sunan Giri, namanya Raden Paku atau Satmoko
Sunan Gunung Jati, namanya Fatahillah, Falatehan, Syarif Hidayatullah
Sunan Bonang, namanya Makdum Ibrahim
Sunan Kudus, namanya Ja’far Shadiq
Sunan Drajat, namanya R. Qosim
Sunan Kalijaga, namanya R. Syahid
Sunan Muria, namanya R. Prawata
Syeh Maulana Malik Ibrahim.

Para wali memiliki peran yang banyak antara lain ialah :
Sebagai Waliullah è orang yang dekat dengan Allah, terlindungi dan terpelihara dari kemaksiatan, menjadi “uswatun Khasanah” ( suri tauladan ) bagi murid dan umat yang diasuhnya.
Sebagai Waliyul’Amriè orang yang memegang kekuasaan atas hukum Islam, memimpin dan sebagai penentu ( key person ) urusan umat, baik dalam bidang duniawi maupun akhrowi.
Ikut menentukan masalah pemerintahan dan perjuangan pengem- bangan agama Islam. Dapat muncul sebagai Da’i/Muballigh, namun juga dapat muncul sebagai panglima perang, serta bersama partisipasi umat berjuang mengusahakan kesejahteraan hidup bersama ( merakyat ).
KISAH SINGKAT PARA WALI
SUNAN MAULANA MALIK IBRAHIM
Dalam Babad Tanah Jawa disebut Makdum Brahim Asmara, dan sering dipanggil dengan Syekh Maulana Maghribi. Asalnya dari Samarakandhi, kemudian bermukim sementara di Campa, setelah itu meneruskan perjalanan dan menetap di Jawa Timur ( Wafat 1419 M, dimakamkan di Gresik ).( Asnan Wahyudi Abu Kholid, Kisah Walisongo. Surabaya: Karya Ilmu, hlm17 ).
Dalam kisah disebutkan memiliki ilmu Al Qur’an yang mumpuni, sehingga dapat menaklukkan para perampok penganggu masyarakat yang berkekuatan ilmu Ilblis. Ia pun berhasil menghapuskan upacara pengorbanan nyawa gadis untuk meminta hujan, dengan memasyarakatkan Sholat Istiqo’, dan berhasil dengan baik.
Maulana Malik Ibrahim dalam penyebaran Islam tidak secara langsung mengajarkan Islam, namun melalui pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia. Dengan demikian ia berhasil menarik simpati masyarakat luas dan mendorong kesadaran masuk agama Islam.

SUNAN AMPEL
Nama aslinya R. Rahmat, ayahnya bernama Maulana Isqak ( saudara Maulana Malik Ibrahim ). Maulana Isqak beristeri Puteri Campa, melahirkan R. Rahmat (S.Ampel) dan Sayid Aqi Murtadlo ( R. Santri ). Sunan Ampel dikenal sebagai pemula pendiri Pondok-Pesantren, sebagai pusat pengkaderan para ulama penyebar Islam. Para kader santrinya seperti R. Paku ( S. Giri ), R. Patah ( Sultan Demak ), Makdum Ibrahim (putranya disebut S.Bonang), dan Syarifuddin (putera kenuanya, yang kemudian jadi S. Drajat).
Sunan Ampel diperkirakan sampai di Jawa sebelum tahun 1446M, karena sebelumnya singgah di Palembang pada tahun 1443 (menurut Tome Pires ) 1440( menurut De Holder ). Oleh Adipati Terung, R. Rahmat ditempatkan di Ampel, dekat Surabaya. Dari sinilah mulai menyebarkan Islam dan mendirikan Pondok Pesantren Ampel Dento, sehingga disebut Sunan Ampel, yang kemudian dikenal sebagai pemula penyebaran Islam di Jawa dan Madura. Majapahit melihat perkembangan Islam ini, kemudian justeru didekati, bahkan R. Rahmat ( S. Ampel ) dinikahkan dengan puteri Majapahit ( Nyai Tilan atau Ni Gede Manila/ Nyai Tilan, puteri Tumenggung Wilatikta, dalam Babad Tanah Jawi ). Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 – dalamBabad Gresik ).

SUNAN GIRI
Namanya adalah Muhammad ’Ainul Yaqin atau Raden Paku, putera Isqak Ma’shum. Menurut tradidi Cirebonan, Sunan Giri adalah putera Maulana Isqak, kedua silsilahnya sampai pada Fathimah Al Zahro dan Ali bin Abi Thalib. Nama Sunan Giri termasuk disebut semua dalam 3 versi penyebutan wali ( Versi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur).
Sunan Giri adalah wali yang merencanakan berdirinya Negara Islam pertama di Jawa, yakni Bintara Demak, dan sebagai penasehat militer negara tersebut. Sunan Giri lah yang memberikan gelar Sultan untuk R.Patah menjadi raja Demak yaitu Sultan Akbar ( dalam sumbar Belanda, S. Giri disebut Mohamedanich Paus, atau ”Paus van Java”).
Ketika Majapahit lemah, kemudian diserang dan dikuasai oleh dinasti Girindrawardhana ( Kediri ), maka R. Patah sebagai pewaris Majapahit berusaha merebutnya kembali. Dalam penyerangan itulag S. Giri sebagai penyusun strategi, dan sebagai pelaksananya adalah Panglima Sunan Bonang, dan serangan itu berhasil baik.
S. Giri diakui sebagai yang paling menguasai Agama Islam, oleh karena itu, ketika muncul penyimpangan Syekh Siti Jenar, maka S. Girilah yang memberikan strategi untuk menangkap dan menghukum, serta eksekusi bunuh ( karena mengajarkan agama dengan sesat dan mengacaukan masyarakat ). Ajaran sesat itu kemudian diluruskan.
SUNAN BONANG
Aslinya bernama Raden Makdum Ibrahim ( putera Sunan Ampel dan cucu Maulana Malik Ibrahim ), saudara Sunan Drajat. Dari ibunya Nyi Ageng Malaka ( dewi Candrawati ) adalah puteri Brawijaya dari Majapahit ( sumber: Bahan-bahan Sejarah Islam di Jawa tengah Bagian Utara.Semarang: Lembaga Research & Survey IAIN Walisongo,1982 ).
Peran Sunan Bonang antara lain ialah :
Pertama, termasuk yang ikut mendirikan Kerajaan Demak, kemudian menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Demak. Sebagai pemimpin sidang kasus Syekh Siti Jenar, Sidang Pendirian Masjid Demak, dan juga memimpin pengangkaktan R.Patah sebagai Sultan demak.
Kedua, Sunan Bonang berdakwah di Tuban, Pati, Madura, dan P.Bawean. Dalam berdakwah menggunakan perangkat Gamelan dengan Gendhing-geding bernuansa Dakwah. S. Bonang termasuk pencipta tembang dan gending bernafaskan Islam, yang amat disukai masyarakat, sehingga menarik masuarakar untuk memeluk agama Islam.
Ketiga, melawan para pendeta yang mengobarkan ilmu gaib ( sihir ), dalam rangka menyakinkan bahwa ajaran Islam itu dapat mengalahkan segala ilmu hitam yang mencekam kehidupan masyarakat. Keberhasilan Sunan Bonang melawan para pendekar ilmu hitam itu, dapat sambutan positif dari masyarakat.
Sunan Bonang berdakwah keliling daerah mulai dari Tuban, sampai Madura dan Bawean, yang akhirnya iapun wafat di P. Bawean, kemudian dimakamkan di Tuban, meskipun sebelumnya masyarakat Bawean memginginkan di makam Bawean.Ajaran Sunan Bonang telah dihimpun dalam Het Boek Van Bonang, yang apabila dikaji isi ajarannya mengandung ajaran dari beberapa kitab, antara lain : Ihya’ Ulumuddin ( Imam Ghazali ); Quth Al-Qulub ( Abu Tholib Al-Makky ); dan Hayatul Auliya’( Abu Nu’aim al Isfahani ). ( sumber: Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa.( Jogjakarta:Pustaka Pelajar, 2004, hlm.78 ).
SUNAN KALIJAGA
Nama aslinya adalah Raden Said, waktu mudanya dikenal sebagai Brandal lokajaya. Nama panggilannya yang lain adalah Pangeran Tuban, Raden Abdurrahman, dan Syekh Mlaya. ( sumber: Bahan-bahan Sejarah Islam.....,1982,hlm.17). Menurut berita dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa Sunan Kalijaga adalah putera Tumenggung Wilatikta.
Menurut Babad Majapahit dan Babad Para Wali, Sunan Kalijaga dikukuhkan di hadapan Sunan Giri sebagai Ketua Para Wali di Jawa.

Beberapa hal yang dilakukan oleh S. Kalijaga, antara lain:
Ketika membangun Masjid Demak, S. Kalijaga seangaja membuat ”soko tatal”, yang maksudnya sebagai lambang kebersamaan-persatuan ( dengan bersatu, membuat soko guru yang kokoh ).
Memberantas ajaran yang melenceng dari akidah, yaitu ajaran sesat ”wahdatul Wujud” atau ”Manunggaling Kawula Gusti”, yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa, dituturkan bahwa Syekh Siti Jenar disidang oleh para wali, termasuk S. Kalijaga, setelah bebar-benar positif Siti Jenar mengakui bahwa dirinya adalah Allah, maka dijatuhi hukuman mati. Kasus ini merupakan tindakan yang tegas dari para wali menghadapi aliran sesat Pantheisme, yang membahayakan akidah Islamiyah, merusak kehidupan beragama yang benar. Dalam hal ini Sunan Kalijaga tidak punya kompromi & bertindak tegas, untuk menyelamatkan masyarakat.
Dalam hal lain, ketika menghadapi agama Hindu/Budha, yang dipakai S.Kalijaga adalah pendekatan budaya, sufistik, namun tetap menjalankan Aqidah Ahlussunnah wal jama’ah. S. Kalijaga lebih berdakwah lebih memperhatikan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan mengadakan perubahan gradual, sedikit demi sedikit memberikan pengaruh Islam pada yang lama, dan tidak menunjukkan radikalitas. Dengan mengisi yang sudah ada, dengan nafas Islam yang semakin lama menjadi Islam yang dominan. Beberapa contoh yang dilakukan oleh S. Kalijaga, antara lain:
Meletakkan motif sengkalan berbentuk Bulus ( hewan yang dianggap suci oleh orang Budha ) pada mihrab Masjid Demak. Dengan demikian, manjadi daya tarik orang yang dulunya Budha mau memeluk Islam.
S.Kalijaga sebagai salah satu pencipta Gamelan Sekaten ( Syahadaten ), yang gendingnya bernama ”Salatun”, ”Sholawatun”, dan ”Rambu” (dari kata Robbul’alamina) ( Ahmad Adaby Darban, Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia, hlm. 9 ). Menciptakan jenis dan model pakaian ”Taqwo” ( taqwa ), yang dibuat menutup aurath rapat dan rapi, khas sebagai busana Jawa Islam.
S. Kalijaga juga ikut membesut Wayang Purwa, menjadi pedalangan wayang kulit yang menjadi media dakwah efektik bagi masyarakat Jawa. Pada wayang ini S. Kalijaga bersama S. Bonang, dan S. Ampel ( Janget Tinatelon ), menambah kreasi ceritera seperti Dewa Ruci dan adanya Punokawan ( Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan lainnya ).
Bersama S.Bonang, S.Kalijaga mumbuat tembang Mocopat, dan permainan anak-anak seperti ”Jethungan”. Tembang yang terkenal seperti Ilir-ilir, kemudian Mocopat sepertia Dandang Gula, Sinom, Megatruh dan sebagainya.
S. Kalijaga juga dikenal sebagai perencana tata-letak ibukota karajaan Demak, yang kemudian ditiru di setiap kabupaten di pulau Jawa ini. Seperti Kraton, Alun-alun dengan 2 pohon beringin ditengahnya ( dua kalimah Syahadat ), dan 99 pohon beringin di sekitarnya ( Asma’ul Husna ). Tata letak itu didasarkan atas falsafah ”Baldatun Toyyibatun wa Robbun Ghofur” ( Ridin Sofwan dkk., Islamisasi Jawa. hlm.122 ).
Tentang wafatnya S. Kalijaga tdak terdapat tanda atau prasasti, namun dimakamkan di Kadilangu dekat Demak.




SUNAN KUDUS
Nama aslinya Ja’far Shiddiq atau Raden Fatihan, putera S. Ngundung dan Syarifah (cucu S. Ampel). Ia diangkat sebagai Penghulu di Kraton Demak. Dalam rangka perang menghadapi Majapahit yang diduduki oleh dinasti Grindawardhana, Jakfar Shodiq diangkat jadi panglima perang melawan Majapahit. Dalam misinya menyerbu Majapahit, ia dibantu oleh para bupati yang sudah Moslem, antara lain Bupati madura, Adipati Sumenep, Pamekasan, Balega, Panaraga, bersatu melawan Majapahit, dan berhasil membedah Majapahit.. Setelah menaklukkan Majapahit, maka diteruskan menaklukkan Pengging dibawah Adipati Handayaningrat.yang berniat ingin merdeka dari Demak.
Dalam rangka menarik umat Hindu masuk Islam, Sunan Kudus menambatkan seekor lembu di pohon halaman Masjid Menara Kudus. Kemudia iapun berfatwa, bahwa masyarakat kudus tidak boleh menyembelih sapi ( yang dipuja orang Buda ). Melihat hal ini warga Budha, sangat menghargai S. Kudus, dan bahkan ingin masuk agama Islam. Masih banyak lagi kisah S. Kudus.

SUNAN DRAJAT
Nama aslinya ialah Raden Qosim sering disebut juga Raden Syaifuddin, adalah putera S. Ampel. Sunan Drajat mendapat tugas dari ayahandanya untuk berdakwah di sebelah barat Gresik, namun kapal yang dinaikinya dibawa ombak, maka ia terdampar di Jelog, Banjarwati Paciran. Ia mulai dengan mendirikan Pondok-Pesantren, yang dalam waktu singkat banyak yang berguru di pesantrennya.
S. Drajat kemudian pindah ke arah selatan, yaitu sekarang namanya nDalem Duwur. Di tempat inilah ia lebih mendapat dukungan dan penganut yang lebih banyak. Adapun metode dakwahnya adalah lebih melalui kesenian, yaitu membuat Syair dan Lagu Jawa. Ajarannya yang dikenal antara lain :
” Berikanlah tongkat pada orang buta ”,
” Berikanlah makan pada orang yang lapar ”
” Berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang ”,
” Berikanlah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan ”.
Sunan Drajat dimakamkan di Desa Drajat, Paciran Lamongan .

SUNAN MURIA
Nama aslinya adalah Raden Umar Said, putera S. Kalijaga. Menurut CLN Van Den Berg, dalam bukunya De Hedramaut et les Colonies Arabes, dinyatakan bahawa para wali termasuk Sunan Muria itu adalah keturunan Arab. Demikian pula menurut buku Pustoko Darah Agung, dinyatakan bahwa Sunan Muria adalah keturunan Arab.
Cara berdakwah S. Muria mengikuti S. Kalijaga, yaitu tradisi lama yang sudah ada tidak dibabat, namun diberi nafas Islam. Ia menyebarkan Islam di daerah-daerah Jepara, Kudus Trayu dan Juana. Dalam berda’wah menggunakan lagu Mocopat, yang paling digemari adalah Sinom.

SUNAN GUNUNG JATI
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah/ Fatahillah / Falatehan. Ia keturunan ibunya adalah puteri dari raja Pajajaran, dan ayahnya raja Mesir. Sejak umur 14 tahun ia telah giat belajar agama Islam, dan pada masa remajanya ia pun telah mempelajari ilmu-ilmu hakikat dari Nabi Muhammad Saw., Nabi Khidhir, Nabi Musa, dan Nabi Sulaiman.
Kegiatan Sunan Gunung Jati antara lain :
Dikenal sebagai penegak Islam dan penyebar Islam di Jawa, dan memiliki wewenang dua tugas, yaitu berhak mendirikan kadaulatan di Cirebon ( karena anak putri Pajajaran ), dan punya wewenang penyebar agama Islam, karena dianggap keturunan Nabi Muhammad Saw.. Ia termasuk yang kemudian mendirikan Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten. Meskipun demikian, Sunan Gunung Jati tidak mau mendudukkan dirinya sebagai raja, ia lebih suka berkhidmad pada bidang dakwah/ penyiaran Islam di Jawa, Khususnya Jawa Barat.
Sunan Gunung Jati atau Fatahillah/ Falatehan / Syarif Hidayatullah, punya jasa besar membentengi Pulau Jawa dari pendudukan Portugis. Ketika Portugis akan menjajah pelabuhan Sunda Kelapa, maka berhasil digagalkan dan dikalahkan oleh Fatahillah, kemudian pelabuhan itu diubah namanya dengan Jayakarta ( Jakarta ).

KHOTIMAH
Kisah Walisongo ini dikutip dari beberapa sumber sejarah yang sangat terbatas. Basih banyak sumber sejarah lain yang mengkisahkan Walisongo dengan beberapa versi yang berbeda. Oleh karena itu, persoalan Walisongo ini masih perlu dikaji dan diteliti terus menerus, sehingga dapat tuntas.
Oleh karena keterbatasan sumber ketika menyusun makalah ini, maka apabila ada sumber-sumber lain yang mungkin lebih akurat, akan dapat menyempurnakannya.
Sebagai harapan, dengan mempelajari Walisongo ini, kita akan lebih bijak dalam berda’wah, dan kitapun akan dapat lebih memahami proses perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia sampai hari ini.
Do’a kita, semoga Allah Swt. meberikan pahala pada para Mujahid Da’wah Walisongo dan wali-wali atau ulama-ulama semuanya, yang telah berjuangan untuk menyebarkan dan memperjuangkan Islam di Indonesia. Amien.
Jogjakarta, 18 September 2008
Ahmad Adaby Darban
adaby__kauman@yahoo.com

UNSUR MEREDAM KONFLIK DALAM BUDAYA JAWA

UNSUR-UNSUR BUDAYA JAWA
DALAM MEREDAM KONFLIK
Oleh : A. ADABY DARBAN

I. PENDAHULUAN
Kebudayaan pada dasarnya merupakan produk atau buah budi kelompok manusia, di dalamnya terdapat sistem nilai yang dihayati oleh sekelompoki manusia. Dengan demikian, maka Kebudayaan Jawa pada dasarnya merupakan produk atau buah budi kelompok manusia Jawa, yang sekaligus di dalamnya terdapat sistem nilai yang dihayati oleh orang Jawa.

Kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua sifat, pertama bersifat fisik yaitu hasil kebudayaan yang dapat disentuh secara fisik, misalnya rumah adat, kraton, benteng, tempat ibadah, dan sebagainya. Adapun yang kedua hasil kebudayaan yang tidak dapat disentuh secara fisik, misalnya adat-istiadat, hasil pemikiran, pendidikan, hukum, perulaku kolektif, dan sebagainya.

Pada makalah pendek ini hanyalah menyajikan bagian kecil dari unsur-unsur Kebudayaan Jawa yang bersifat non fisik, khusunya pada nilai-nilai yang berhubungan dengan upaya meredam konflik. Dalam masalah meredam konflik, Kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai yang dapat dibaca dari beberapa ungkapan bermakna dalam, dan dijadikan pendidikan dalam masyarakat Jawa.

Meskipun nilai-nilai Kebudayaan Jawa seharusnya berlaku dalam masyarakat Jawa, namun pada tingkat atualisasi atas nilai-nilai budaya itu dapat berjalan beda. Perbedaan ini perlu disadari bahwa sama-sama orang Jawa pada tempat dan kondisi serta situasi yang dihadapi berbeda akan memunculkan prilaku masyarakat yang beda . Di samping itu, adanya perbedaan latar hitorisnya, juga dapat memunculkan prilaku masyarakat yang berbeda pula.

II. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN JAWA DALAM MEREDAM KONFLIK

Dalam masyarakat Jawa dikenal adanya kaidah dasar antara lain ialah, pertama Prinsip Rukun, yaitu adanya konsep keserasian hubungan antar manusia yang bersifat horisontal, dengan upaya mewujudkan dan mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis, yaitu selaras, tenang, dan tentram, bersatu saling membantu ( Gotong-Royong ). Adapun kedua, Prinsip Hormat, yaitu adanya konsep keserasian hubungan antar manusia yang bersifat vertikal, menyangkut hubungan herarkis antar individu. Dengan kata lain, adanya kesediaan warga masyarakat untuk menempatkan individu lain pada tempat individu itu dalam struktur sosial dan atau kerumah- tanggaan. Sikap hormat ini dalam tingkah laku dapat diujudkan antara lain dengan unggah-ungguh, dan pada tingkatan bahasa. ( lihat Cliford Geertz, The Religion of Jawa, 1960 ).

Selain Rukun dan Hormat, juga terdapat ungkapan “ tepa selira” adalah suatu usaha untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menganggu ketentraman dan perasaan orang lain. Dengan tepa selira berarti orang berusaha untuk melakukan tindakan dengan mempertimbangkan pereasaan-perasaan dan posisi psikologis terhadap orang lain yang akan terkena akibatnya. Dengan kata lain konsep ini merupakan konsep yang berusaha menjaga keseimbangan bathin orang lain, atau diarahkan pada usaha untuk memelihara ketentraman bathin orang lain. ( lihat Umar Kayam, Konsep Keselarasan Sosial Jawa dan Pelaksanaan Swasembada Pangan, 1986 ).

Ungkapan kata “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” yang artinya kerukunan akan menjadikan kuat, sedangkan konflik akan menjadikan kerusakan. Dalam masyarakat Jawa, pada pinsipnya konflik merupakan perbuatan yang tercela, dan harus sedapat mungkin dihindari. Sebaliknya kerukunan, kebersamaan, persatuan dan persaudaraan perlu diwujudkan untuk membuat kekuatan dalam hidup bermasyarakat.

Hormat lebih banyak berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan dalam herarki sosial. Dalam hal ini adanya usaha menempatkan orang lain pada tempat yang didudukinya (statusnya), seperti antara lain dengan kedua orang tua dan orang yang lebih tua, dengan guru, dengan pejabat dan tokoh-tokoh yang dihormati.

Selain rukun, hormat, dan tepa selira, ada bebera unsur yang mendukung untuk meredap konflik, unsur-unsur itu antara lain :

Ungkapan “ ngalah gedhe wekasane”, mengalah besar penghargaannya, di sini kensep “ngalah” tidak berarti kalah, akan tetapi ada kesengajaan tidak mengadakan perlawanan, demi masa depan yang lebih baik atau besar manfaatnya.

Ungkapan kata “ aja dumeh “, ungkapan ini diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang mendapat kekuatan, kekuasaan, kekayaan, kesempatan, dan berbagai kelebihan lain, yang akan menjurus ketingkah laku merugikan dan dapat menimbulkan konflik. Tingkah laku itu antara lain, takabur-kibir-congkak-sombong, merendahkan orang lain, serta menindas-medlolimi orang lain. Sepadan dengan ungkapan itu ialah “ adigang-adigung-adiguna”.

Ungkapan kata “ sing sabar, subur “, artinya bagi orang yeng sabar itu akan mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan, serta terhindar dari konlik. Dalam hal ini adalah apabila menyelesaikan segala masalah tidak boleh gegabah, dalam mengusahakan sesuatu tidak “ nggege mangsa” atau jalan pintas tidak melalui prosedur yang benar. Berlaku sabar itu dilakukan dengan perhitungan cermat-strategi-prosedur yang benar, sehingga akan membuahkan hasil yang baik tanpa benturan konflik.

Istilah “rembug bareng”(musyawarah), dalam memecahkan persoalan dan memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan orang banyak, dilakukan dengan musyawarah. Dengan menggunakan musyawarah ini akan dapat menghasilkan keputusan atau kesepakatan yang dapat memuaskan sebagian besar warga masyarakatnya. Dengan demikian dapat meredam munculnya konflik dalam masyarakat.

Unsur-unsur Kebudayaan Jawa di atas merupakan prinsip dan atau konsep yang tumbuh berkembang dalam masyarakat Jawa. Unsur-unsur itu dapat lestari dan akan dijalankan oleh masyarakat Jawa , apabila sosialisasi dijalankan secara terus menerus lewat berbagai media, dan mampu bersaing dengan unsur-unsur budaya lain yang akan mempengaruhinya.

III. UNSUR KEBUDAYAAN JAWA – MEREDAM KONFLIK – DI JOGJAKARTA

Jogjakarta dan Surakarta dikenal sebagai pusat Kebudayaan Jawa, dalam aktualisasi kehidupan masyarakatnya terdapat persamaan dan perbedaan. Keduanya memiliki cirikhas tertentu, yang terbentuk dari perjalanan historisnya, lingkungan sosial-ekonomi-politik yang dihadapi berbeda. Tulisan ini dibatasi dan berusaha untuk mengungkap bagaimana peran unsur-unsur Kebudayaan Jawa itu dalam meredam konflik.

1. Perjalanan sejarah Jogjakarta tidak dapat dipisahkan dengan peranan Kerajaan Ngayogjakarta Hadiningrat. Jiwa dan semangat patriotik yang dimiliki oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX, dalam perjuangannya bersama masyarakat melawan penjajahan, dan keberpihakannya secara tegas kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, mendapatkan dukungan,simpati, dan penghargaan dari masyarakatnya bahkan bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadikan kewibawaan keraton Jogjakarta sebagai pengawal Kebudayaan Jawa, masih dihormati, disegani, sekaligus masih punya pengaruh pada masyarakat. Oleh karena itu, Sultan senagai pewaris tahta kraton Jogjakarta, masih punya kewibawaan khas, dan punya peranan dalam meredam adanya konflik di Jogjakarta.
2. Lahirnya dua organisasi kebangsaan besar dalam bidang pendidikan dan keagamaan, yaitu Muhammadiyah dan Taman Siswa, yang kemudian disusul berdirinya perguruan tinggi tertua yang didirikan oleh bangsa Indonesia, yaitu UII dan UGM, yang kesemuanya itu di Jogjakarta, menumbuhkan nuansa kependidikan bagi masyarakatnya. Jogjakarta menjadi “Kota Pelajar”, yang punya daya tarik dan daya undang dari bernagai daerah Indonesia untuk belajar di Jogjakarta. Meskipun kemudian masyarakat Jogjakarta menjadi heterogen, namun heterogenitasnya ditumpu dengan pendidikan, sehingga potensi konflik kecil. Merega membaur dengan masyarakat asli, dan saling mengenal serta menghormati prilaku budayanya.
3. Jogjakarta bukan kota industri, dan bukan pula kota ekonomi/perdagangan, sehingga dinamika meterialnya tidak begitu menonjol. Jogjakarta tidak seperti kota industri maupun kota dagang, yang memiliki gap antara Majikan dan Buruh, antara kaya dan miskin yang menonjol, sehingga punya potensi konflik yang kuat. Dengan demikian Jogjakarta dapat dikatan relatif tentram dan bila ada gejala konflik mudah segera diatasi.

IV. PENUTUP

Apabila ke tiga indikator itu merupakan cirikhas Jogjakarta sebagai daerah yang relatif mudah meredam konflik, namun godaan konflik pun sering terjadi akibat beberapa gesekan antara lain, masalah politik, per-gali-an, tempat-tempat hiburan malam, munculnya “gang pelajar”, dan sebagainya. Oleh karena itu, Warga masyarakat Jogjakarta bersama dengan pamong daerah dan aparat keamanan, serta para pendidik dan pemuka agama, diharapkan memiliki tekad yang bulat, untuk berperanserta meredam konflik dan menumbuhkan kehidupan yang hormonis di Jogjakarta.

Unsur-unsur Kebudayaan Jawa itu akan bermanfaat, apabila dimengerti dan dipahami oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, sosialisasi unsur-unsur Kebudayaan Jawa terus dilakukan, meskipun sampai abad ini.
UNSUR-UNSUR BUDAYA JAWA
DALAM MEREDAM KONFLIK





Oleh : AHMAD ADABY DARBAN





Disampaikan Dalam Kegiatan Sarasehan Tentang Pemberdayaan
Kearifan Lokal Pada Daerah Rawan Konflik



Dinas Sosial DIY
Oktober 2004

UMAT ISLAM DALAM ERA GLOBALISASI

Umat islam dalam era globalisasi
Oleh: Ahmad Adaby Darban
Globalisasi atau proses mendunia, adalah terjadinya hubungan komunikasi umat manusia di seluruh dunia yang semakin efektif. Hal itu didukung oleh sarana dan prasarana teknologi informasi-komunikasi serta transportasi yang semakin melancarkan hubungan umat manusia, sehingga terjadi iklim saling mempengaruhi semakin meluas. Arus Globalisasi itu kini semakin deras, dan menimbulkan dapak positif maupun negatif.
Dapak positifnya antara lain, informasi dari belahan dunia yang jauh dapat segera diletahui oleh manusia dibelahan dunia yang lain. Manusia dengan mudah berkomunikasi, termasuk dapat dengan cepat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga merata di seluruh dunia. Di samping dampak positif, arus Globalisasi juga menimbulkan dampak negative yang sangat perlu mendapatkan perhatian.
Adapun dampak negatifnya antara lain, adanya ledakan informasi yang menguasai kehidupan manusia, dengan demikian yang mengusai media informasi, akan jadi penentu menguasai/mempengaruhi masyarakat dunia. Pengaruh negative dari luar (seperti pornografi-pornoaksi, taktik-strategi kejahatan, komsumerisme, hedonisme, liberalisme, sekulerisme dan sebagainya ), dengan leluasa masuk menusuk jantung rumah tangga kita, dan mempengaruhi sendi kehidupan masing-masing keluarga. Kehidiupan manusia semakin didorong individualistis, sangat menonjolkan hak individunya. Kehidupan beragama hanya diambil ritualnya saja, dan agama hanya dipahami hanya untuk aspek individual belaka. Dengan demikian, arus globarisasi itu dapat mengancam kehidupan sejak dari keluarga, masyarakat dan kemudian negara, apabila kita lengah, tidak waspada, dan kurang siap menghadapinya.
Bagi Umat Islam, menghadapi arus Globalisasi ini merupakan tantangan, sekaligus sebagai peluang untuk dapat dengan cerdas, syiasyah, dan trampil memanfaatkan untuk Jihad ( berjuang sungguh-sungguh ) menyampaikan aspek-aspek ajaran Islam sebagai Rahmat Lil’alamien, memberikan kesejahteran bagi seluruh alam. Dalam menhhadapi tantangan arus Globalisasi, umat Islam perlu giat memperkokoh Benteng dengan memperkuat fondasi Aqidah, Syari’ah-Ibadah, Amaliah, dan Akhlaqul Karimah. Dengan fondasi ajaran Islam ini insyaAllah akan mempu menjadi filter dan punya daya tangkal terhadap arus negative Globalisasi atau arus popularitas zaman. Dengan memahami dan menghayati serta mengamalkan ajaran Islam dengan benar, akan mahir mengendalikan diri dan menyeleksi pengaruh arus Globalisasi, sehingga dapat selamat, dan justeru dapat memanfaatkannya sebagai sarana dakwah dan pengembangan Islam di dunia yang lebih luas.
Dalam rangka untuk menguatkan umat menghadapi arus Globalisasi, maka perlu dipahami dan dihayati ajaran Allah Swt. Dalam kitabullah Al Qur’an sebagai pedoman hidup manusia ini, antara lain :
Pertama, Umat Islam harus memperkuat Iman dan juga harus memiliki Ilmu Pengetahuan yang luas ( Q.S. Al Mujadilah 11 ), sehingga Ilmu dan Teknologi yang tumbuh dan berkembang dilandasi oleh Iman yang kokoh, akan barokah dan mamfaat bagi kehidupan peradaban manusia.
Kedua, Umat dapat mengamalkan konsep hidum manusia dalam (Q.S. Al Qoshos: 77), yaitu a) Mempunyai orientasi hidup yang jelas bahagia di akhirat, dengan mengupayakan berbuat baik dan bahagia sejahtera di dunianya. b). Bebuat kebaikan pada sesama manusia dengan amal sholehnya. c) Tidak membuat kerusakan di bumi.
Ketiga, Memperkokoh Rumah Tangga Sakinah dengan landasan Cinta-Kasih-Sayang, membangun masyarakat yang Marhammah-Qoryatan Toyyibah ( tentram-damai ), berlandaskan Ta’awun atau gotong-royong. Kesemuanya itu saling menjaga, agar jangan sampai dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, terperosok dalam neraka (Q.S. At Tahrim: 6 ).
Keempat, Memperkokoh Istiqomah Umat Islam pada pengetahuan-pemahaman-serta mengamalan ajaran Islam, sehingga benar-benar Muttaqin (bertaqwa) dan sampai akhir hayat tetap dalam keadaan muslimin ( Q.S. Ali Imron: 102 ).
Dengan demikian itu, Umat Islam akan tegar berani menghadapi arus Globalisasi, dan bahkan dapat tampil dengan mahir menggguna Ilmu-Pengetahuan & Teknologi sebagai sarana dan prasarana perjuangan dakwah-Amar makruf nahi mungkar, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan kehidupan umat manusia di seluruh dunia.
H. Ahmad Adaby Darban, Drs.,SU.
Dosen Jur.Sejarah FIB UGM & Sekretaris FUI DIY